Total Tayangan Halaman

Selasa, 19 November 2013

TASHIH MASALAH (PEMBULATAN ASAL MASALAH)



BAB I
Pendahuluan

A.  Latar Belakang.
Di negara kita Republik Indonesia ini, hukum waris yang berlaku secara nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).
Dalam praktek kehidupan sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi krusial yang terkadang memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di samping karena kekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait mengenai hukum pembagian waris.
Hukum waris dalam Islam adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari al-Qur'an dan Hadist Rasulullah SAW, kemudian para ahli hukum Islam, khususnya para mujtahid mentranformasikan melalui berbagai formulasi waris sesuai dengan pendapatnya masing-masing dengan tidak melanggar ketentuan          Al-Qur’an dan Hadits, diantaranya adalah masalah Tashih.
Pembagian warisan yang cocok (sesuai) dengan jumlah bagian dari masing-masing ahli waris yang ada, tidak diperlukan cara yang berbelit-belit atau memusingkan akan tetapi jika harta warisan yang akan dibagikan tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima oleh ahli waris sesuai furudh atau jumlah bagian ashabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini diperlukan pentashihan masalah atau pembulatan asal masalah guna untuk membantu mempermudah pembagian harta warisan dimaksud.
Menurut syari’at, masalah waris mewarisi bukanlah sesuatu yang muncul dengan sendirinya melainkan karena beberapa sebab, seperti hubungan darah antara pewaris dengan ahli waris, karena pernikahan (hubungan perkawinan) dan karena sebab memerdekakan hamba.

b.  Pokok Permasalahan
Pokok permasalahan yang akan dijadikan objek permasalahan dalam makalah ini adalah : Bagaimanakah mentashihkan masalah jika furudh lebih besar dan lebih kecil dari keadaan harta warisan.

C.  Tinjauan Penulisan
Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana menentukan bahagian ahli waris apabila harta warisan tersebut kurang dari jumlah bahagian yang semestinya diterima oleh setiap ahli waris atau jumlah bahagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah.










BAB II
Pembahasan

A. Pengertian Tashih

Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut ulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.
Apabila pokok masalah harta waris dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan cara-cara yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waris tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau jumlah bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini memerlukan pentashihan pokok masalahnya.
Agar kita dapat memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka kita harus mengetahui nisbah-nya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan, yaitu:
1.      at-tamaatsul (kemiripan/kesamaan),
At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh, yakni 'sama bentuknya'. Sedangkan menurut ulama faraid berarti sama dalam jumlah atau nilai, yang satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari yang lain. Misalnya, angka tiga (3) berarti sama dengan tiga (5), dan lima (5) sama dengan lima (5), dan seterusnya.
2.      at-tadaakhul (saling terkait/saling bercampur),
At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata dari "keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang besar oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan angka empat (4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27) dengan angka sembilan (9).
3.      at-tawaafuq (saling bertautan),
At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'. Sedangkan menurut istilah ilmu faraid ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga, sehingga menurut mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka delapan (8) dengan enam (6) keduanya dapat dibagi oleh angka dua (2). Angka duabelas (12) dengan angka tigapuluh (30) sama-sama dapat dibagi oleh angka enam (6). Angka delapan (8) dengan duapuluh (20) sama-sama dapat dibagi oleh angka empat (4), demikian seterusnya.
4.      at-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).
At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau saling berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap bilangan yang satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka tujuh (7) dengan angka empat (4), angka delapan (8) dengan sebelas (11), angka lima (5) dengan angka sembilan (9).
Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, dapat dibandingkan pengertiannya dengan istilah lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu tadaakhul. Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka yang kecil tetapi dibagi angka yang lain maka kedua bilangan itu ada tawaafuq. Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua bilangan tersebut adalah mutamaatsilan.

B. Penghitungan dan Pentashihan

Mengetahui pokok masalah merupakan suatu keharusan dalam mengkaji ilmu faraid. Hal ini bertujuan agar dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah at-ta'shil, yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya. Artinya, harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah, maka pokok masalahnya dihitung per kepala, jika semuanya hanya dari laki-laki. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal ini diambil dari kaidah qur'aniyah: bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung dari jumlah per kepala. Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila ahli waris semuanya sama, misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga (1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu seterusnya.
Sedangkan jika para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian yakni tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan sebagainya, yang harus dilakukan adalah mengalikan dan mencampur antara beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah (saling berpadu), atau yang mutabaayinah (saling berbeda).
Untuk memperjelas masalah ini, dapat dilihat kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah untuk memahami pokok masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut menjadi 2 (dua) bagian:
1. bagian setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8).
2. bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari angka yang paling besar. Misalnya, bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok masalahnya dari empat (4).
Contoh lain:
Bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat (1/4), dan seperdelapan (1/8) atau hanya seperempat dengan seperdelapan, maka pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari sahib fardh sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam (1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam. Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.

Akan tetapi, jika dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
1. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh setengah (1/2) yang merupakan kelompok pertama bercampur dengan salah satu dari kelompok kedua, atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
2. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperempat (1/4) yang merupakan kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
3. Apabila dalam suatu keadaan, sahib fardh seperdelapan (1/8) yang merupakan kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua, atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, dapat dilihat dalam beberapa contoh dibawah ini:
seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan paman kandung.

Maka pembagiannya sebagai berikut:
suami mendapat setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu sepertiga (1/3), sedangkan paman sebagai 'ashabah, ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak berhak menerima harta waris.

Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni 1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua. Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam.

 

Pokok masalah dari enam (6)

 

Suami setengah (1/2)
3
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
1
Ibu sepertiga (1/3)
2
Paman kandung, sebagai 'ashabah
0

Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan seorang saudara laki-laki kandung.

Maka pembagiannya seperti berikut:
bagian istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.

Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) yang termasuk kelompok pertama dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu).

 

Pokok masalah dari dua belas (12)

 

Istri seperempat (1/4))
3
Ibu seperenam (1/6)
2
Dua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3)
4
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah (sisanya)
3


Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan saudara kandung laki-laki.

Maka pembagiannya sebagai berikut:
istri mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat sisa harta waris bila ternyata masih tersisa.

Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat (24).

Pokok masalah dari 24

 

Bagian istri seperdelapan (1/8)
berarti
3
Bagian anak perempuan setengah (1/2)
berarti
12
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)
berarti
4
Bagian ibu seperenam (1/6)
berarti
4
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah (sisa)

1
Angka dua puluh empat (24) yang dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah dari enam (yakni 3) dengan delapan  (6 : 2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6 = 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah seterusnya.


C. Cara Mentashih Pokok Masalah
Setelah diketahui dengan baik makna-makna at-tamaatsul, attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka yang perlu diketahui adalah kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,
Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.
Cara pentashihan yang biasa dilakukan oleh para ulama faraid adalah seperti berikut:
Langkah pertama, melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan. Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapat bagian maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya. (Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah" oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah:
Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6).
Bagian keempat anak perempuan ialah dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagian, dan sang ibu juga seperenam (1/6) berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub karena anak pewaris lebih dari dua orang).
Dalam contoh tersebut dapat dilihat jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah, sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu) tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah, setiap anak menerima satu bagian.

Contoh lain yang at-tamaatsul.
Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu, dan empat saudara kandung perempuan.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh (7).
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.

Bila kita perhatikan dari contoh tersbut, dapat dilihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian, bahwa dari contoh masalah tersebut cenderung (ber nisbat) pada at-tamaatsul.

Contoh masalah yang at-tawaafuq.
Seseorang wafat dan meninggalkan delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahuya dari enam (6).
Bagian kedelapan anak perempuan dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.

Dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz'us sahm kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.



Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6), kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan (9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.

Dalam contoh di atas ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian (9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).

Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12.
Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi.


3
 

12
36
Suami ¼
3
9
Anak perempuan ½
6
18
Tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki 1/6
2
6
Saudara kandung laki-laki ('ashabah)
1
3

Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat antara bagian cucu perempuan keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah hasil pentashihan.

Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara kandung laki-laki.

Maka bagian masing-masing seperti berikut:
pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27.
Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4, dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki mahjub (terhalang).


5
 
24
27
135
Istri 1/8
3
15
Lima anak perempuan 2/3
16
80
Ayah 1/6
4
20
Ibu 1/6
4
20
Saudara kandung laki-laki (mahjub)
-
-

Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa bagian kelima anak perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 = 135. Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan juz'us sahm.

Contoh  lain:
seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek, empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu.

Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24.
Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat saudara kandung laki-laki (sisanya)  yaitu 1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara seibu mahjub.






28


24
672
3 istri bagiannya 1/8
3
84
7 anak perempuan 2/3
16
448
2 orang nenek 1/6
4
112
saudara kandung laki-laki ('ashabah)
1
28
Saudara laki-lah seibu (mahjub
-
-

Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka ada perbedaan (tabaayun). Untuk mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan.


D. Pembagian Harta Peninggalan
At-tarikah (peninggalan) dalam bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara yang harus ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua  dalam hal yang berkenaan dengan harta yang dapat ditransfer.
1. Cara pertama: harus  ketahui nilai (harga) setiap bagiannya, kemudian kita kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya merupakan bagian masing-masing ahli waris.
2. Cara kedua: kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari masing-masing ahli waris.

Ad.1. Contoh Cara Pertama:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta peninggalannya sebanyak 480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang berarti 3 bagian, anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 4 bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai 'ashabah.
Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil pembagi harta waris yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti 480: 24 = 20 dinar adalah harga per bagian.
Jadi,    bagian istri                  3   bagian    x 20 dinar = 60   dinar
           Anak perempuan         12 bagian    x 20 dinar = 240 dinar
           Ibu                              4   bagian    x 20 dinar = 80   dinar
Ayah                          5   bagian    x 20 dinar = 100 dinar
                                                              Total  = 480 dinar
                       
Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung perempuan, ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24.
Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah ma'al ghair.







2



12
24
24 Cucu perempuan keturunan anak laki-laki
1/2
6
12
Suami ¼
1/4
3
6
Ibu 1/6
1/6
2
4
2 saudara perempuan kandung ('ashabah ma'al ghair)
1
2


Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24 = 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahli waris:

Jadi, Cucu pr. keturunan anak laki-laki  12 x 40 dinar = 480 dinar
         Suami                                               6 x 40 dinar = 240 dinar
         Ibu                                                    4 x 40 dinar = 160 dinar
         Dua saudara kandung perempuan    2 x 40 dinar =   80 dinar
                                                                                          Total = 960 dinar

Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, dua anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung laki-laki, dan harta peninggalannya 3.000 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 6 kemudian ditashih menjadi 12.
Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam (6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan, berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-masing satu bagian), sedangkan bagian anak laki-laki juga 4 bagian (masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara kandung laki-laki mahjub.



2



6
12
Empat anak perempuan

4
4
Dua anak laki-laki

3
4
Ayah
1/6
1
2
Ibu
1/6
1
2
Tiga saudara kandung laki-laki (mahjub)
-
-


Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar


Jadi, bagian 4 anak perempuan     4 x 250 dinar = 1.000 dinar
         2 anak laki-laki                     4 x 250 dinar = 1.000 dinar
         Ibu                                        2 x 250 dinar =    500 dinar
         Ayah                                    2 x 250 dinar =    500 dinar
                                                                Total   = 3.000 dinar

Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan, dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya 9.900 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9.
Suami mendapat 1/2 yang berarti 3, saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh 1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1).



6
9
Suami
½

3
Saudara kandung perempuan
½

3
Saudara laki-laki seibu
1/3

2
Nenek
1/6

1

Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar

Jadi,  Suami                                       3 X 1.100 dinar = 3.300 dinar        
         Saudara perempuan kandung   3 X 1.100 dinar = 3.300 dinar
         Dua saudara laki-laki seibu      2 X 1.100 dinar = 2.200 dinar
         Nenek                                       1 X 1.100 dinar = 2.200 dinar
                                                                        Total  = 9.000 dinar

Contoh lain:
Bila seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan sejumlah 585 dinar,

maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13.
Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti 8 bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu dalam hal ini sebagai 'ashabah, sehingga mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh.

12
13
Suami
1/4
3
Ibu
1/6
2
Dua anak perempuan
2/3
8
Tiga cucu perempuan
Dua cucu perempuan
'ashabah
-


Jadi, Suami                             3 x 585:13 dinar = 135 dinar
         Ibu                                  2 x 585:13 dinar =   90 dinar
         Dua anak perempuan     8 x 585:13 dinar = 360 dinar
                                                             Total     = 585 dinar

Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan dua saudara kandung, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan harta warisnya berjumlah 240 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12 kemudian ditashih menjadi 24.
cucu perempuan keturunan anak laki-laki mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian sebagai 'ashabah.



12
24
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/2
6
12
Ibu
1/6
2
4
Suami
1/4
3
6

Jadi, Cucu pr. ket. anak laki-laki              12 x 240:24 dinar = 120 dinar
         Ibu                                                      4 x 240:24 dinar =   40 dinar
         Suami                                                 6 x 240:24 dinar =   60 dinar
         Dua saudara kandung ('ashabah)       2 x 240:24 dinar =   20 dinar
                                                                                     Total = 240 dinar

Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki seayah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 6.
Ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan 1/2 (berarti 3 bagian), dan  sisanya  dua  (2)  bagian   menjadi  hak  kedua  saudara  perempuan  kandung
sebagai 'ashabah. Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub.



6
Ibu
1/6
1
Cucu pr. ket. anak laki-laki
1/2
3
Dua saudara kandung pr. ('ashabah)

2
Saudara perempuan seayah,
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub)

-


e.  Masalah Dinariyah ash-Shughra
Ada 2 (dua) masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah ad-dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra.
Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita, dan setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.
Contoh masalahnya:
Seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua (2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara perempuan seibu. Harta peninggalannya: 17 dinar.

Adapun pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 17.
Tiga orang istri mendapatkan 1/4 (berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian), sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian). Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti ini disebut ad-dinariyah ash-shughra.


12
17

Ke-3 istri
1/4
3
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Kedua nenek
1/6
2
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-8 sdr. pr. seayah
2/3
8
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
Ke-4 sdr. pr. seibu
1/3
4
masing-masing 1 bagian = 1 dinar

F.  Masalah Dinariyah al-Kubra
Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada sebagian terdiri dari ashhabul furudh dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada yang hanya mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua (2) dinar, dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah al-kubra.
Contoh masalah ini sebagai berikut:
Seseorang wafat meninggalkan istri, ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang saudara kandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar.

Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 24 kemudian setelah ditashih menjadi 600.
Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), kedua anak perempuan memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian merupakan bagian ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah.

Jadi, bagian Istri                         3 x 600:24 dinar =   75 dinar
         Ibu                                     4 x 600:24 dinar = 100 dinar
         Kedua anak perempuan   16 x 600:24 dinar =  400 dinar
                                                                                 Total =  575 dinar

Sedangkan ke-12 saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan mendapat sisanya, yakni 25 dinar sebagai 'ashabah, dengan ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara kandung perempuan.



25



24
600
Istri
1/8
3
75
Ibu
1/6
4
100
Kedua anak perempuan
2/3
16
100
12 saudara kandung laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah)
1

24
1
Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1) dinar. Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin Abi Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600 dinar itu.
Kendatipun wanita tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan, namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya, "Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak lebih dan tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya.













BAB III
kesimpulan

Sistem faraid dalam Islam memberi peluang kepada para ahli waris untuk membagi warisan tanpa harus mengikuti detail pembagian yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits. Atas dasar kesepakatan para ahli waris, besaran bagian masing-masing ahli waris kemudian bisa berubah sesuai kesepakatan para ahli waris tersebut. Atas dasar kesadaran penuh dan keikhlasan setiap ahli waris, satu ahli waris bahkan bisa saja sepenuhnya menyerahkan haknya untuk diberika kepada ahli waris yang lain atas dasar pertimbanganpertimbangan obyektif dan rasional.
Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.