Oleh : M. Yusrizal, SH, M.Kn.
BAB I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang.
Di negara kita Republik Indonesia ini, hukum waris yang berlaku secara
nasioal belum terbentuk, dan hingga kini ada 3 (tiga) macam hukum waris yang
berlaku dan diterima oleh masyarakat Indonesia, yakni hulum waris yang
berdasarkan hukum Islam, hukum Adat dan hukum Perdata Eropa (BW).
Dalam praktek kehidupan
sehari-hari, persoalan waris sering kali menjadi krusial yang terkadang
memicu pertikaian dan menimbulkan keretakan hubungan keluarga. Penyebab utamanya ternyata keserakahan dan ketamakan manusia, di
samping karena kekurang-tahuan pihak-pihak yang terkait
mengenai hukum pembagian waris.
Hukum waris dalam Islam
adalah bagian dari Syariat Islam yang sumbernya diambil dari al-Qur'an dan Hadist Rasulullah SAW,
kemudian para ahli hukum Islam, khususnya para mujtahid mentranformasikan
melalui berbagai formulasi waris sesuai dengan pendapatnya masing-masing dengan
tidak melanggar ketentuan Al-Qur’an
dan Hadits, diantaranya adalah masalah Tashih.
Pembagian warisan yang cocok (sesuai) dengan jumlah bagian
dari masing-masing ahli waris yang ada, tidak diperlukan cara yang
berbelit-belit atau memusingkan akan tetapi jika harta warisan yang akan
dibagikan tersebut kurang dari jumlah bagian yang mesti diterima oleh ahli
waris sesuai furudh atau jumlah bagian ashabul
furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini diperlukan
pentashihan masalah atau pembulatan asal masalah guna untuk membantu
mempermudah pembagian harta warisan dimaksud.
Menurut syari’at, masalah waris mewarisi bukanlah sesuatu
yang muncul dengan sendirinya melainkan karena beberapa sebab, seperti hubungan
darah antara pewaris dengan ahli waris, karena pernikahan (hubungan perkawinan)
dan karena sebab memerdekakan hamba.
b. Pokok Permasalahan
Pokok
permasalahan yang akan dijadikan objek permasalahan dalam makalah ini adalah : Bagaimanakah mentashihkan masalah jika furudh lebih besar dan lebih kecil dari keadaan
harta warisan.
C. Tinjauan Penulisan
Adapun yang
menjadi tujuan dalam penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui bagaimana menentukan
bahagian ahli waris apabila harta warisan tersebut kurang dari jumlah bahagian
yang semestinya diterima oleh setiap ahli waris atau jumlah bahagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok
masalah.
BAB II
Pembahasan
A. Pengertian Tashih
Tashih dalam bahasa Arab berarti 'menghilangkan penyakit'. Sedangkan menurut
ulama ilmu faraid berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli
waris tanpa pecahan dalam pembagiannya.
Apabila pokok
masalah harta waris dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan jumlah
bagian tiap-tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan cara-cara
yang berbelit dan memusingkan. Namun, bila harta waris tersebut kurang dari
jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau jumlah bagian ashhabul furudh melebihi jumlah pokok
masalah, maka dalam hal ini memerlukan pentashihan pokok masalahnya.
Agar kita dapat
memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka kita harus
mengetahui nisbah-nya (koneksi)
dengan keempat istilah perhitungan, yaitu:
1. at-tamaatsul (kemiripan/kesamaan),
At-Tamaatsul dalam bahasa Arab berarti at-tasyabuh,
yakni 'sama bentuknya'. Sedangkan menurut ulama faraid berarti sama dalam
jumlah atau nilai, yang satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit dari yang
lain. Misalnya, angka tiga (3) berarti sama dengan tiga (5), dan lima (5) sama
dengan lima (5), dan seterusnya.
2. at-tadaakhul (saling terkait/saling bercampur),
At-Tadaakhul dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhala, yakni 'masuk', lawan kata dari
"keluar". Sedangkan menurut ulama faraid adalah pembagian angka yang
besar oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari pembagian itu tidak ada lagi
angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka delapan (8) dengan angka empat
(4), angka delapan belas (18) dengan angka enam (6), angka dua puluh tujuh (27)
dengan angka sembilan (9).
3. at-tawaafuq (saling bertautan),
At-Tawaafuq dalam bahasa Arab berarti 'bersatu'.
Sedangkan menurut istilah ilmu faraid ialah setiap dua angka yang dapat dibagi
angka ketiga, sehingga menurut mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya, angka delapan (8)
dengan enam (6) keduanya dapat dibagi oleh angka dua (2). Angka duabelas (12)
dengan angka tigapuluh (30) sama-sama dapat dibagi oleh angka enam (6). Angka
delapan (8) dengan duapuluh (20) sama-sama dapat dibagi oleh angka empat (4),
demikian seterusnya.
4. at-tabaayun (berbeda/saling berjauhan).
At-Tabaayun dalam bahasa Arab berarti tabaa'ud, yakni saling berjauhan atau
saling berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulama ilmu faraid ialah setiap
bilangan yang satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak pula dapat
dibagi oleh bilangan lain (ketiga). Misalnya angka tujuh (7) dengan angka empat
(4), angka delapan (8) dengan sebelas (11), angka lima (5) dengan angka
sembilan (9).
Untuk mengetahui secara tepat pengertian tabaayun, dapat dibandingkan
pengertiannya dengan istilah lainnya. Apabila angka yang besar dibagi angka
yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu tadaakhul.
Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka yang kecil tetapi dibagi
angka yang lain maka kedua bilangan itu ada tawaafuq.
Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka
disebut tabaayun. Tetapi apabila
kedua bilangan itu sama, maka di antara kedua bilangan tersebut adalah mutamaatsilan.
B. Penghitungan dan Pentashihan
Mengetahui pokok
masalah merupakan suatu keharusan dalam mengkaji ilmu faraid. Hal ini bertujuan
agar dapat mengetahui secara pasti bagian setiap ahli waris, hingga
pembagiannya benar-benar adil, tanpa mengurangi atau melebihkan hak
masing-masing. Persoalan "pokok masalah" ini di kalangan ulama faraid
dikenal dengan istilah at-ta'shil,
yang berarti usaha untuk mengetahui pokok masalah. Dalam hal ini, yang perlu
diketahui adalah bagaimana dapat memperoleh angka pembagian hak setiap ahli
waris tanpa melalui pemecahan yang rumit. Karena itu, para ulama ilmu faraid
tidak mau menerima kecuali angka-angka yang jelas dan benar (maksudnya tanpa
menyertakan angka-angka pecahan).
Untuk mengetahui
pokok masalah, terlebih dahulu perlu kita ketahui siapa-siapa ahli warisnya.
Artinya, harus mengetahui apakah ahli waris yang ada semuanya hanya termasuk 'ashabah, atau semuanya hanya dari ashhabul furudh, atau gabungan antara 'ashabah dengan ashhabul furudh.
Apabila seluruh
ahli waris yang ada semuanya dari 'ashabah,
maka pokok masalahnya dihitung per kepala, jika semuanya hanya dari laki-laki.
Misalnya, seseorang wafat dan meninggalkan lima orang anak laki-laki, maka
pokok masalahnya dari lima. Atau seseorang wafat meninggalkan sepuluh saudara
kandung laki-laki, maka pokok masalahnya dari sepuluh.
Bila ternyata ahli
waris yang ada terdiri dari anak laki-laki dan perempuan, maka satu anak
laki-laki kita hitung dua kepala (hitungan), dan satu wanita satu kepala. Hal
ini diambil dari kaidah qur'aniyah:
bagian anak laki-laki dua kali bagian anak perempuan. Pokok masalahnya juga dihitung
dari jumlah per kepala. Misalnya, seseorang wafat dan hanya meninggalkan lima
orang anak, dua laki-laki dan tiga perempuan. Maka pokok masalahnya berarti
tujuh (7). Contoh lain, bila mayit meninggalkan lima anak perempuan dan tiga
anak laki-laki, maka pokok masalahnya sebelas, dan demikian seterusnya.
Kemudian, jika
ternyata ahli waris yang ada semuanya dari ashhabul
furudh yang sama, berarti itulah pokok masalahnya. Misalnya, seseorang
wafat dan meninggalkan seorang suami dan saudara kandung perempuan. Maka pokok
masalahnya dari dua (2). Sebab, bagian suami setengah (1/2) dan bagian saudara
kandung perempuan juga setengah (1/2). Secara umum dapat dikatakan bahwa bila
ahli waris semuanya sama, misalnya masing-masing berhak mendapat seperenam
(1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Bila semuanya berhak sepertiga
(1/3), maka pokok masalahnya dari tiga (3). Bila semuanya seperempat (1/4) atau
seperdelapan (1/8), maka pokok masalahnya dari empat atau delapan, begitu
seterusnya.
Sedangkan jika
para ahli waris yang ditinggalkan pewaris terdiri dari banyak bagian yakni
tidak dari satu jenis, misalnya ada yang berhak setengah, seperenam, dan
sebagainya, yang harus dilakukan adalah mengalikan dan mencampur antara
beberapa kedudukan, yakni antara angka-angka yang mutamatsilah (sama) atau yang mutadaakbilah
(saling berpadu), atau yang mutabaayinah
(saling berbeda).
Untuk memperjelas
masalah ini, dapat dilihat kaidah yang telah diterapkan oleh para ulama ilmu
faraid. Kaidah ini sangat mudah sekaligus mempermudah untuk memahami pokok
masalah ketika ahli waris terdiri dari berbagai sahib fardh yang mempunyai bagian berbeda-beda.
Para ulama faraid membagi kaidah tersebut
menjadi 2 (dua) bagian:
1. bagian setengah (1/2), seperempat (1/4),
dan seperdelapan (1/8).
2. bagian dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan
seperenam (1/6).
Apabila para ashhabul furudh hanya terdiri dari
bagian yang pertama saja (yakni 1/2, 1/4, 1/8), berarti pokok masalahnya dari
angka yang paling besar. Misalnya,
bila dalam suatu keadaan, ahli warisnya dari sahib fardh setengah (1/2) dan seperempat (1/4), maka pokok
masalahnya dari empat (4).
Contoh lain:
Bila dalam suatu keadaan ahli warisnya terdiri dari para sahib fardh setengah (1/2), seperempat
(1/4), dan seperdelapan (1/8) atau hanya seperempat dengan seperdelapan, maka
pokok masalahnya dari delapan (8). Begitu juga bila dalam suatu keadaan ahli
warisnya terdiri dari sahib fardh
sepertiga (1/3) dengan seperenam (1/6) atau dua per tiga (2/3) dengan seperenam
(1/6), maka pokok masalahnya dari enam (6). Sebab angka tiga merupakan bagian dari angka enam.
Maka dalam hal ini hendaklah diambil angka penyebut yang terbesar.
Akan tetapi, jika
dalam suatu keadaan ahli warisnya bercampur antara sahib fardh kelompok pertama (1/2, 1/4, dan 1/8) dengan kelompok
kedua (2/3, 1/3, dan 1/6) diperlukan kaidah yang lain untuk mengetahui pokok
masalahnya. Kaidah yang dimaksud seperti tersebut di bawah ini:
1. Apabila dalam suatu
keadaan, sahib fardh setengah (1/2)
yang merupakan kelompok pertama bercampur dengan salah satu dari kelompok
kedua, atau semuanya, maka pokok masalahnya dari enam (6).
2. Apabila dalam suatu
keadaan, sahib fardh seperempat (1/4)
yang merupakan kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua atau
salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua belas (12).
3. Apabila dalam suatu
keadaan, sahib fardh seperdelapan
(1/8) yang merupakan kelompok pertama bercampur dengan seluruh kelompok kedua,
atau salah satunya, maka pokok masalahnya dari dua puluh empat (24).
Untuk lebih memperjelas kaidah tersebut, dapat
dilihat dalam beberapa contoh dibawah ini:
seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara laki-laki seibu, ibu, dan
paman kandung.
Maka pembagiannya sebagai berikut:
suami mendapat setengah (1/2), saudara laki-laki seibu seperenam (1/6), ibu
sepertiga (1/3), sedangkan paman sebagai 'ashabah,
ia akan mendapat sisa yang ada setelah ashhabul
furudh menerima bagian masing-masing. Bila tidak tersisa, maka ia tidak
berhak menerima harta waris.
Dari contoh tersebut tampak ada campuran antara kelompok pertama (yakni
1/2) dengan sepertiga (1/3) dan seperenam (1/6), yang merupakan kelompok kedua.
Berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh tersebut dari enam.
Pokok masalah dari enam (6)
Suami setengah (1/2)
|
3
|
Saudara laki-laki seibu seperenam (1/6)
|
1
|
Ibu sepertiga (1/3)
|
2
|
Paman kandung, sebagai 'ashabah
|
0
|
Contoh lain:
seseorang
wafat dan meninggalkan istri, ibu, dua orang saudara laki-laki seibu, dan
seorang saudara laki-laki kandung.
Maka
pembagiannya seperti berikut:
bagian
istri seperempat (1/4), ibu seperenam (1/6), dua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3), dan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah.
Pada contoh ini tampak ada campuran antara bagian seperempat (1/4) yang
termasuk kelompok pertama dengan seperenam (1/6) dan sepertiga (1/3). Maka
berdasarkan kaidah, pokok masalahnya dari dua belas (12). Angka tersebut
merupakan hasil perkalian antara empat (yang merupakan bagian istri) dengan
tiga (sebagai bagian kedua saudara laki-laki seibu).
Pokok masalah dari dua belas (12)
Istri seperempat (1/4))
|
3
|
Ibu seperenam (1/6)
|
2
|
Dua saudara laki-laki seibu
sepertiga (1/3)
|
4
|
Saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah
(sisanya)
|
3
|
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan
istri, anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, dan
saudara kandung laki-laki.
Maka
pembagiannya sebagai berikut:
istri
mendapat seperdelapan (1/8), anak perempuan setengah (1/2), cucu perempuan
keturunan anak laki-laki mendapat seperenam (1/6) sebagai penyempurna dua per
tiga (2/3), dan bagian ibu seperenam (1/6). Sedangkan saudara kandung laki-laki sebagai 'ashabah, karenanya ia mendapat
sisa harta waris bila ternyata masih tersisa.
Pada contoh ini tampak ada percampuran antara seperdelapan (1/8) sebagai
kelompok pertama dengan seperenam (1/6) sebagai kelompok kedua. Maka
berdasarkan kaidah yang ada, pokok masalah pada contoh ini dari dua pulah empat
(24).
Pokok masalah dari 24
Bagian istri seperdelapan (1/8)
|
berarti
|
3
|
Bagian anak perempuan setengah
(1/2)
|
berarti
|
12
|
Cucu perempuan dari anak laki-laki seperenam (1/6)
|
berarti
|
4
|
Bagian ibu seperenam (1/6)
|
berarti
|
4
|
Saudara kandung laki-laki, sebagai 'ashabah
(sisa)
|
|
1
|
Angka dua puluh empat (24) yang
dijadikan sebagai pokok masalah timbul sebagai hasil perkalian antara setengah
dari enam (yakni 3) dengan delapan (6 :
2 x 8 = 24). Atau setengah dari delapan (yakni empat) kali enam (6), (8 : 2 x 6
= 24). Hal seperti ini disebabkan setengah dari dua angka tersebut (yakni enam
dan delapan) ada selisih, karenanya kita ambil setengah dari salah satu angka
tadi, kemudian kita kalikan dengan angka yang lain dengan sempurna. Begitulah
seterusnya.
C. Cara Mentashih Pokok Masalah
Setelah diketahui
dengan baik makna-makna at-tamaatsul,
attadaakhul, at-tawaafuq, dan at-tabaayun, maka yang perlu diketahui
adalah kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih pokok masalah? Dan apa tujuannya,
Pada hakikatnya,
kalangan ulama faraid tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali
dengan angka-angka yang pasti (maksudnya tanpa pecahan). Hal ini dimaksudkan
agar dapat mewujudkan keadilan yang optimal dalam pembagian tersebut. Selain
itu, untuk mewujudkan keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang
merupakan hak setiap ahli waris, sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan.
Hal ini merupakan satu perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam
usaha mereka mewujudkan kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang
dikehendaki ad-Din al-Islam.
Cara pentashihan yang
biasa dilakukan oleh para ulama faraid adalah seperti berikut:
Langkah pertama,
melihat bagian setiap ahli waris dan jumlah per kepalanya. Bila jumlah per
kepala setelah dibagi cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang
berhak untuk menerimanya, maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan.
Namun, bila jumlah per kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli
waris yang ada jumlah pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang
belum mendapat bagian maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara
kedua hal itu ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris
dengan jumlah per kepalanya, maka setiap anak berhak mendapat bagian sesuai
dengan jumlah per kepalanya, dengan cara mengalikan jumlah per kepala dengan
pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya.
(Misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya 2/3 dari 6, berarti 4, maka ada
kesamaan. Sebab setiap anak mendapat bagian satu).
Adapun bila terjadi mubayaanah (ada selisih) maka kalikan
jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau dengan meng-'aul-kannya, maka hasil dari perkalian itu yang menjadi pokok
masalah sebenamya. Inilah yang disebut "pentashihan pokok masalah"
oleh kalangan ulama faraid.
Sedangkan mengenai
bagian untuk mengalikan pokok masalah atau meng-'aul-kan dengan tujuan mentashih pokok masalah, oleh ulama faraid
disebut dengan juz'us sahm. Maksudnya, sebagai bagian khusus yang
berkaitan dengan setiap bagian pada pokok masalah.
Contoh amaliah tentang pentashihan pokok masalah:
Seseorang wafat dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu,
ayah, dan tiga cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6).
Bagian keempat anak perempuan ialah
dua per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu
bagian, dan sang ibu juga seperenam (1/6) berarti satu bagian. Sedangkan tiga
cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki tidak mendapat bagian (mahjub
karena anak pewaris lebih dari dua orang).
Dalam contoh tersebut dapat dilihat
jumlah anak perempuan ada empat (4), dan bagian yang mereka peroleh juga empat.
Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah,
sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat anak perempuan itu)
tidak lagi memerlukan pecahan-pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan dengan pas dan mudah,
setiap anak menerima satu bagian.
Contoh lain yang at-tamaatsul.
Seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan
seibu, dan empat saudara kandung perempuan.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6),
kemudian di-'aul-kan menjadi tujuh
(7).
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti
satu bagian, kemudian bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3)
berarti dua bagian, sedangkan bagian keempat saudara kandung perempuan adalah
dua per tiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.
Bila kita perhatikan dari contoh tersbut,
dapat dilihat bahwa pokok masalahnya tidak memerlukan pentashihan. Sebab jumlah
per kepalanya sesuai dengan jumlah yang dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan
seibu dua bagian, maka tiap orang mendapat satu bagian. Bagi keempat saudara
kandung perempuan empat bagian, maka setiap orang mendapat satu bagian. Berarti
kesesuaian pembagian tersebut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah.
Dengan demikian, bahwa dari contoh masalah tersebut cenderung (ber nisbat) pada at-tamaatsul.
Contoh
masalah yang at-tawaafuq.
Seseorang wafat dan meninggalkan
delapan (8) anak perempuan, ibu, dan paman kandung.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahuya dari enam (6).
Bagian kedelapan anak perempuan dua
per tiga (2/3) berarti empat (4) bagian, ibu seperenam (1/6) berarti satu
bagian, dan sisanya (satu bagian) adalah bagian paman kandung sebagai 'ashabah.
Dalam contoh di atas ada at-tawaafuq antara jumlah per kepala
anak perempuan dengan jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut istilah ulama faraid sebagai
bagian dari bagian juz'us sahm
kemudian bagian dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka
enam (6). Maka 2 x 6 = 12. Itulah tashih pokok masalah.
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan
suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua orang saudara laki-laki seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari enam (6),
kemudian di-'aul-kan menjadi sembilan
(9). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam
saudara kandung perempuan dua per tiga (2/3), berarti empat bagian, dan bagian
kedua saudara laki-laki seibu sepertiga (1/3), berarti dua bagian.
Dalam contoh di atas ada tawaafuq antara jumlah bagian yang
diterima para saudara kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu
dua (2). Kemudian kita ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3),
dan kita kalikan dengan pokok masalah setelah di-'aul-kan yakni angka sembilan (9), berarti 3 x 9 = 27. Hasil dari
perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok masalah. Setelah
pentashihan, maka pembagiannya seperti berikut: suami mendapat sembilan bagian
(9), keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian, dan kedua
saudara laki-laki seibu mendapat enam bagian (9 + 12 + 6 = 27).
Contoh lain:
seseorang
wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dari
keturunan anak laki-laki, dan saudara kandung laki-laki.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok
masalahnya dari 12.
Bagian suami 1/4 berarti tiga (3) bagian, bagian anak
perempuan 1/2 berarti enam (6) bagian, dan bagian cucu perempuan keturunan anak
laki-laki 1/6 sebagai penyempurna 2/3 berarti 2 bagian, dan bagian saudara
kandung laki-laki satu bagian (sisanya) sebagai 'ashabah bin nafsihi.
|
3
|
|
|
12
|
36
|
Suami ¼
|
3
|
9
|
Anak perempuan ½
|
6
|
18
|
Tiga cucu perempuan keturunan anak
laki-laki 1/6
|
2
|
6
|
Saudara kandung
laki-laki ('ashabah)
|
1
|
3
|
Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat antara bagian cucu
perempuan keturunan anak laki-laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni 2
dengan 3) ada tabaayun (perbedaan),
karenanya kita kalikan angka 3 dengan pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka
angka 36 itu berarti pokok masalah hasil pentashihan.
Contoh lain:
Seseorang wafat dan meninggalkan istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara
kandung laki-laki.
Maka bagian masing-masing seperti
berikut:
pokok masalahnya dari 24, kemudian di-'aul-kan menjadi 27.
Bagian istri 1/8 = 3, kelima anak
perempuan mendapat bagian 2/3 yang berarti 16, ayah memperoleh 1/6 berarti 4,
dan ibu mendapat 1/6 yang berarti 4, sedangkan bagian saudara kandung laki-laki
mahjub (terhalang).
|
5
|
|
24
|
27
|
135
|
Istri 1/8
|
3
|
15
|
Lima anak perempuan 2/3
|
16
|
80
|
Ayah 1/6
|
4
|
20
|
Ibu 1/6
|
4
|
20
|
Saudara kandung
laki-laki (mahjub)
|
-
|
-
|
Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa bagian kelima anak
perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di antara
keduanya ada tabaayun (perbedaan).
Kemudian kita kalikan pokok masalahnya setelah di-'aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka, yakni 27 x 5 =
135. Angka itu merupakan pokok masalah setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang
dinamakan juz'us sahm.
Contoh lain:
seorang
wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua orang nenek,
empat saudara kandung laki-laki, dan saudara laki-laki seibu.
Maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24.
Ketiga istri mendapat 1/8 = 3. Tujuh
anak perempuan mendapat 2/3-nya = 16, kedua nenek 1/6-nya = 4, dan empat
saudara kandung laki-laki (sisanya) yaitu
1 sebagai 'ashabah, sedangkan saudara
seibu mahjub.
|
28
|
|
|
24
|
672
|
3 istri bagiannya 1/8
|
3
|
84
|
7 anak perempuan 2/3
|
16
|
448
|
2 orang nenek 1/6
|
4
|
112
|
saudara kandung
laki-laki ('ashabah)
|
1
|
28
|
Saudara laki-lah seibu (mahjub
|
-
|
-
|
Dalam tabel tersebut dapat dilihat bahwa bagian anak
perempuan (16) dengan jumlah per kepala mereka (7) ada perbedaan (tabaayun), begitu juga dengan bagian
keempat saudara kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka
ada perbedaan (tabaayun). Untuk
mentashih pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan jumlah per kepala anak
perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara kandung (yakni 4), berarti
7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan juz'us sahm. Kemudian juz'us
sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya (28 x 24 = 672) hasilnya
itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan.
D. Pembagian Harta Peninggalan
At-tarikah (peninggalan) dalam
bahasa Arab bermakna seluruh jenis kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik
berupa harta, benda, atau tanah. Semua peninggalan itulah yang harus dibagikan
kepada ahli waris yang ada sesuai dengan hak bagian yang harus mereka terima.
Untuk mengetahui
pembagian harta waris kepada setiap ahlinya ada beberapa cara yang harus
ditempuh, namun yang paling masyhur di kalangan ulama faraid ada dua dalam hal yang berkenaan dengan harta yang
dapat ditransfer.
1. Cara pertama: harus
ketahui nilai (harga) setiap bagiannya,
kemudian kita kalikan dengan jumlah bagian tiap-tiap ahli waris. Maka hasilnya
merupakan bagian masing-masing ahli waris.
2. Cara kedua:
kita ketahui terlebih dahulu bagian setiap ahli waris secara menyeluruh. Hal
ini kita lakukan dengan cara mengalikan bagian tiap-tiap ahli waris dengan
jumlah (nilai) harta peninggalan yang ada, kemudian kita bagi dengan angka
pokok masalahnya atau tashihnya. Maka hasilnya merupakan bagian dari
masing-masing ahli waris.
Ad.1. Contoh Cara Pertama:
Seseorang wafat dan meninggalkan
istri, anak perempuan, ayah, dan ibu. Sedangkan harta peninggalannya sebanyak
480 dinar, maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 24, istri mendapatkan 1/8 yang
berarti 3 bagian, anak perempuan 1/2 berarti 12 bagian, ibu mendapatkan 1/6
berarti 4 bagian, sedangkan sisanya (yakni 5 bagian) merupakan hak ayah sebagai
'ashabah.
Adapun nilai (harga) per bagiannya didapat dari hasil
pembagi harta waris yang ada (480 dinar) dibagi pokok masalah (24), berarti
480: 24 = 20 dinar adalah harga per bagian.
Jadi, bagian
istri 3 bagian x
20 dinar = 60 dinar
Anak
perempuan 12 bagian x 20 dinar = 240 dinar
Ibu 4 bagian x
20 dinar = 80 dinar
Ayah 5 bagian
x 20 dinar = 100 dinar
Total
= 480 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan dua
saudara kandung perempuan, ibu, suami, cucu perempuan keturunan anak laki-laki.
Sedangkan harta waris yang ada sebanyak 960 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12 kemudian di-tashikkan-kan menjadi 24.
Cucu perempuan mendapatkan 1/2 yang
berarti 12 bagian, suami mendapatkan 1/4 yang berarti 6 bagian, dan ibu
memperoleh 1/6 yang berarti 4 bagian. Sedangkan sisanya (dua bagian) untuk dua
saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah
ma'al ghair.
|
|
2
|
|
|
|
12
|
24
|
24 Cucu perempuan keturunan anak
laki-laki
|
1/2
|
6
|
12
|
Suami ¼
|
1/4
|
3
|
6
|
Ibu 1/6
|
1/6
|
2
|
4
|
2 saudara perempuan kandung ('ashabah
ma'al ghair)
|
1
|
2
|
|
Adapun nilai per bagian; 960 dinar: 24
= 40 dinar. Jadi, bagian masing-masing ahli waris:
Jadi, Cucu
pr. keturunan anak laki-laki 12 x 40
dinar = 480 dinar
Suami 6
x 40 dinar = 240 dinar
Ibu 4
x 40 dinar = 160 dinar
Dua saudara kandung perempuan 2 x 40 dinar = 80 dinar
Total = 960 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan empat
anak perempuan, dua anak laki-laki, ayah, ibu, dan tiga saudara kandung
laki-laki, dan harta peninggalannya 3.000 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 6 kemudian
ditashih menjadi 12.
Sang ayah mendapatkan 1/6 berarti 2
bagian, ibu mendapatkan 1/6 berarti 2 bagian, dan sisanya dibagikan kepada enam
(6) anak, dengan ketentuan bagian laki-laki dua kali lipat bagian perempuan,
berarti bagian anak perempuan 4 bagian (masing-masing satu bagian), sedangkan
bagian anak laki-laki juga 4 bagian (masing-masing 2 bagian), sedangkan saudara
kandung laki-laki mahjub.
|
|
2
|
|
|
|
6
|
12
|
Empat anak perempuan
|
|
4
|
4
|
Dua anak laki-laki
|
|
3
|
4
|
Ayah
|
1/6
|
1
|
2
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
2
|
Tiga saudara
kandung laki-laki (mahjub)
|
-
|
-
|
|
Adapun nilai per bagiannya adalah 3.000:12 = 250 dinar
Jadi, bagian
4 anak perempuan 4 x 250 dinar = 1.000
dinar
2
anak laki-laki 4 x 250
dinar = 1.000 dinar
Ibu 2
x 250 dinar = 500 dinar
Ayah
2 x 250
dinar = 500 dinar
Total = 3.000 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan suami,
saudara kandung perempuan, dua saudara laki-laki seibu, dan nenek. Sedangkan harta peninggalan seluruhnya
9.900 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 6 kemudian di-'aul-kan (dinaikkan) menjadi 9.
Suami mendapat 1/2 yang berarti 3,
saudara kandung perempuan 1/2 berarti 3, dua saudara laki-laki seibu memperoleh
1/3 berarti 2, sedangan nenek mendapat 1/6 berarti satu (1).
|
|
6
|
9
|
Suami
|
½
|
|
3
|
Saudara kandung perempuan
|
½
|
|
3
|
Saudara laki-laki seibu
|
1/3
|
|
2
|
Nenek
|
1/6
|
|
1
|
Adapun nilai per bagiannya adalah 9.900: 9 = 1.100 dinar
Jadi,
Suami 3
X 1.100 dinar = 3.300 dinar
Saudara
perempuan kandung 3 X 1.100 dinar =
3.300 dinar
Dua
saudara laki-laki seibu 2 X 1.100
dinar = 2.200 dinar
Nenek 1 X 1.100
dinar = 2.200 dinar
Total = 9.000 dinar
Contoh lain:
Bila seseorang wafat dan meninggalkan
suami, ibu, dua anak perempuan, 3 cucu perempuan keturunan anak laki-laki, satu
cucu laki-laki dari keturunan anak laki-laki, sedangkan harta yang ditinggalkan
sejumlah 585 dinar,
maka pembagiannya seperti berikut:
Pokok masalahnya dari 12 kemudian di-'aul-kan menjadi 13.
Suami mendapatkan 1/4 (berarti 3
bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian), dan dua anak perempuan 2/3 (berarti
8 bagian).
Sedangkan kedudukan para cucu dalam
hal ini sebagai 'ashabah, sehingga
mereka tidak memperoleh bagian karena harta waris telah habis dibagikan kepada ashhabul furudh.
|
12
|
13
|
Suami
|
1/4
|
3
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
Dua anak perempuan
|
2/3
|
8
|
Tiga cucu perempuan
Dua cucu perempuan |
'ashabah
|
-
|
Jadi, Suami 3 x 585:13 dinar = 135 dinar
Ibu
2 x
585:13 dinar = 90 dinar
Dua
anak perempuan 8 x 585:13 dinar = 360
dinar
Total
= 585 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan dua
saudara kandung, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, ibu, suami, sedangkan
harta warisnya berjumlah 240 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12 kemudian
ditashih menjadi 24.
cucu perempuan keturunan anak laki-laki
mendapatkan 1/2 (berarti 12 bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian),
suami mendapatkan 1/4 (berarti 6 bagian), dan dua saudara kandung 2 bagian
sebagai 'ashabah.
|
|
12
|
24
|
Cucu pr. ket. anak
laki-laki
|
1/2
|
6
|
12
|
Ibu
|
1/6
|
2
|
4
|
Suami
|
1/4
|
3
|
6
|
Jadi, Cucu pr. ket. anak laki-laki 12 x 240:24 dinar = 120 dinar
Ibu
4 x 240:24 dinar = 40 dinar
Suami
6 x 240:24 dinar = 60 dinar
Dua
saudara kandung ('ashabah) 2 x 240:24 dinar = 20 dinar
Total = 240 dinar
Contoh lain:
seseorang wafat dan meninggalkan ibu,
dua saudara kandung perempuan, saudara perempuan seayah, saudara laki-laki
seayah, dan cucu perempuan keturunan anak laki-laki. Sedangkan harta peninggalan sebanyak 1.500 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok
masalahnya dari 6.
Ibu mendapatkan 1/6 (berarti satu bagian), cucu perempuan
1/2 (berarti 3 bagian), dan sisanya dua (2)
bagian menjadi
hak kedua saudara
perempuan kandung
sebagai 'ashabah.
Sedangkan ahli waris yang lain ter- mahjub.
|
|
6
|
Ibu
|
1/6
|
1
|
Cucu pr. ket. anak laki-laki
|
1/2
|
3
|
Dua saudara kandung pr. ('ashabah)
|
|
2
|
Saudara perempuan seayah,
Dua saudara laki-laki seayah (mahjub) |
|
-
|
e. Masalah Dinariyah
ash-Shughra
Ada 2 (dua) masalah yang dikenal oleh kalangan ulama faraid, yakni istilah
ad-dinariyah ash-shughra dan ad-dinariyah al-kubra.
Ad-dinariyah ash-shughra memiliki pengertian seluruh ahli warisnya terdiri atas kaum wanita,
dan setiap ahli waris hanya menerima satu dinar.
Contoh masalahnya:
Seseorang wafat dan meninggalkan tiga (3) orang istri, dua
(2) orang nenek, delapan (8) saudara perempuan seayah, dan empat (4) saudara
perempuan seibu. Harta peninggalannya:
17 dinar.
Adapun pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 12 kemudian
di-'aul-kan menjadi 17.
Tiga orang istri mendapatkan 1/4
(berarti 3 bagian), dua orang nenek mendapatkan 1/6 (berarti 2 bagian),
kedelapan saudara perempuan seayah mendapatkan 2/3 (berarti 8 bagian),
sedangkan keempat saudara perempuan seibu mendapatkan 1/3 (berarti 4 bagian).
Jumlah harta peninggalannya ada 17 dinar, jumlah bagian seluruh ahli warisnya
pun 17, dengan demikian masing-masing mendapat satu dinar. Maka kasus seperti
ini disebut ad-dinariyah ash-shughra.
|
12
|
17
|
|
Ke-3 istri
|
1/4
|
3
|
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
|
Kedua nenek
|
1/6
|
2
|
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
|
Ke-8 sdr. pr. seayah
|
2/3
|
8
|
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
|
Ke-4 sdr. pr. seibu
|
1/3
|
4
|
masing-masing 1 bagian = 1 dinar
|
F.
Masalah Dinariyah al-Kubra
Adapun masalah ad-dinariyah al-kubra memiliki pengertian bahwa ahli waris yang ada
sebagian terdiri dari ashhabul furudh
dan sebagian lagi dari 'ashabah. Masing-masing ahli waris di antara mereka ada
yang hanya mendapatkan bagian satu (1) dinar, sebagian ada yang mendapatkan dua
(2) dinar, dan sebagian lagi ada yang mendapatkan lebih dari itu. Hal seperti ini di
kalangan ulama faraid disebut ad-dinariyah
al-kubra.
Contoh masalah ini sebagai berikut:
Seseorang wafat meninggalkan istri,
ibu, dua anak perempuan, dua belas saudara kandung laki-laki, dan seorang
saudara kandung perempuan. Sedangkan harta peninggalannya 600 dinar.
Maka pembagiannya seperti berikut:
pokok masalahnya dari 24 kemudian
setelah ditashih menjadi 600.
Istri mendapatkan 1/8 (berarti 3
bagian), ibu mendapatkan 1/6 (berarti 4 bagian), kedua anak perempuan
memperoleh 2/3 (16 bagian), dan sisanya satu (1) bagian merupakan bagian ke-12
saudara kandung laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan sebagai 'ashabah.
Jadi, bagian
Istri 3 x 600:24 dinar = 75 dinar
Ibu
4 x 600:24 dinar = 100 dinar
Kedua
anak perempuan 16 x 600:24 dinar = 400 dinar
Total =
575 dinar
Sedangkan ke-12 saudara kandung
laki-laki dan seorang saudara kandung perempuan mendapat sisanya, yakni 25
dinar sebagai 'ashabah, dengan
ketentuan bagian anak laki-laki dua kali lipat bagian perempuan. Dengan
demikian, yang 24 dinar dibagikan kepada ke-12 saudara kandung laki-laki dan
masing-masing mendapat dua (2) dinar, dan yang satu (1) dinar bagian saudara
kandung perempuan.
|
|
25
|
|
|
|
24
|
600
|
Istri
|
1/8
|
3
|
75
|
Ibu
|
1/6
|
4
|
100
|
Kedua anak perempuan
|
2/3
|
16
|
100
|
12 saudara kandung
laki-laki
1 saudara kandung perempuan ('ashabah) |
1
|
|
24
1 |
Masalah ad-dinariyah al-kubra ini pernah terjadi pada zaman al-Qadhi
Syuraih (seseorang mengajukan masalah kepadanya). Akhirnya Syuraih memvonis
dengan memberikan hak saudara kandung perempuan pewaris hanya satu (1) dinar.
Tetapi, wanita tersebut kemudian mengadukan hal itu kepada Imam Ali bin Abi
Thalib r.a. yang menyebutkan bahwa Syuraih telah menzhaliminya, mengurangi hak
warisnya hingga memberinya satu dinar dari peninggalan saudaranya yang 600
dinar itu.
Kendatipun wanita
tersebut tidak menyebutkan seluruh ahli waris yang berhak menerima warisan,
namun dengan ketajaman dan keluasan ilmunya, Ali bin Abi Thalib bertanya,
"Barangkali saudaramu yang wafat itu meninggalkan istri, dua anak
perempuan, ibu, 12 saudara kandung laki-laki, dan kemudian engkau?" Wanita
tersebut menjawab, "Ya, benar." Ali berkata, "Itulah hakmu tidak
lebih dan tidak kurang."
Kemudian Ali bin Abi
Thalib r.a. memberitahukan kepada wanita tersebut bahwa hakim Syuraih telah
berlaku adil dan benar dalam memvonis perkara yang diajukannya.
BAB III
kesimpulan
Sistem faraid dalam Islam memberi peluang kepada para ahli
waris untuk membagi warisan tanpa harus mengikuti detail pembagian yang telah
ditetapkan oleh Al-Qur’an dan Hadits. Atas dasar kesepakatan para ahli waris,
besaran bagian masing-masing ahli waris kemudian bisa berubah sesuai
kesepakatan para ahli waris tersebut. Atas dasar kesadaran penuh dan keikhlasan
setiap ahli waris, satu ahli waris bahkan bisa saja sepenuhnya menyerahkan
haknya untuk diberika kepada ahli waris yang lain atas dasar
pertimbanganpertimbangan obyektif dan rasional.
Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid
tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka-angka yang
pasti (maksudnya tanpa pecahan). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan keadilan yang
optimal dalam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan keadilan mereka
berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap ahli waris,
sehingga tidak mengurangi ataupun menambahkan. Hal ini merupakan satu perhatian
yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan
kemaslahatan yang menyeluruh, sebagaimana yang dikehendaki ad-Din al-Islam.
ka ini referensinya darimana ya?
BalasHapus