Total Tayangan Halaman

Senin, 21 November 2011

PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN YANG DIPEROLEH BERDASARKAN PEWARISAN

Oleh : Muhammad Yusrizal, SH. MKn


A. Pengertian Pajak
Menurut Undang-Undang Perpajakan Nasional, pengertian pajak merupakan iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan.
Sedangkan menurut Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul  “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong” sebagai berikut: “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam dalam mencapai kesejahteraan umum”.
           Pajak tergolong dalam hutang uang dalam arti sempit, yang mewajibkan wajib pajak (debitur) untuk membayar sejumlah uang pada Kas negara (kreditur). Jadi hutang pajak merupakan hutang yang timbul secara khusus karena negara (kreditur) terikat, dan tidak bisa memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya, hal ini terjadi karena undang-undang. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa berlakunya undang-undang perpajakan akan berakibat kepada orang atau badan yang telah memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak.
Di tinjau dari segi hukum, pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan siapapun yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang untuk membayar sejumlah kepada negara yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan tanpa adanya imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin pembangunan.

B. Fungsi dan Jenis Pajak
1. Fungsi Pajak
a.  Fungsi Anggaran (Budgetair)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk menarik dana dari masyarakat atau sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b.  Fungsi Mengatur (Regulation)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
2. Jenis Pajak
Secara umum pajak dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis:
a.  Berdasarkan Golongan
1.   Pajak Langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan kepada pihak atau orang lain, misalnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPPHTB).
2.   Pajak Tidak Langsung yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak atau orang lain, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Pembangunan (PP-1).
    b.  Berdasarkan Sifat
1.  Pajak Subyektif yaitu pajak yang berkaitan erat dengan keadaan masing-masing orang atau pribadi selaku subyek, besarnya pajak sangat dipengaruhi oleh keadaan wajib pajak, misal Pajak Penghasilan (PPh).
2. Pajak Obyektif yaitu pajak yang berkaitan erat dengan obyek pajak, sehingga besar pajak tergantung kepada obyek tanpa dipengaruhi keadaan subyek, misal Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Cukai Rokok, Pajak  Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
    c.  Berdasarkan Lembaga Pemungut
1. Pajak Pusat atau Pajak Negara yaitu pemungutan pajak oleh aparat pemerintah pusat sebagai sumber devisa negara, misal Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
2.  Pajak Daerah yaitu pemungutan pajak oleh aparat pemerintah daerah sebagai sumber pendapatan daerah, misal: Pajak Kendaraan Bermotor (Pajak Propinsi dan Kabupaten atau Kota), Pajak Pembangunan I (Pajak Kabupaten dan Kota).

C.  Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB).
BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. DPP / Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Bajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB.
BPHTB yaitu merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.

D.  Subjek dan Objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis / tidak disengaja) yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Contoh peristiwa hukum adalah warisan karena pemilik meninggal dunia.
Perolehan hak pada dasarnya ada dua : yaitu pemindahan hak dan perolehan hak baru. Pemindahan hak berarti sebelum memperoleh hak, hak atas tanah dan atau bangunan tersebut sebelumnya sudah ada di “orang” lain. Karena perbuatan atau peristiwa tertentu, haknya berpindah kepada subjek hukum A ke subjek hukum ke B. Sedangkan perolehan hak baru biasanya berasal dari tanah negara kemudian diperoleh subjek pajak. Atau konversi hak, contohnya, dari hak adat menjadi hak milik.


E.  Dasar Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal:
a.    Jual beli adalah harga transaksi;
b.    Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.    Hibah adalah nilai pasar;
d.    Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.    Waris adalah nilai pasar;
f.     Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.    Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.    Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i.     pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.     Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.    Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l.     Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.   Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n.    Hadiah adalah nilai pasar;
o.    Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;
Apabila NPOP dalam hal huruf a sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

F.  Pejabat Yang Berwenang Dalam Pemenuhan Ketentuan BPHTB.
Undang-undang BPHTB menentukan beberapa Pejabat yang berwenang dalam pemenuhan ketentuan BPHTB atas suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan. Para Pejabat ini diberi kewenangan untuk memeriksa apakah BPHTB terutang sudah disetorkan ke Kas Negara oleh pihak yang memperoleh hak sebelum pejabat yang berwenang menandatangani dokumen yang berkenaan dengan  perolehan dimaksud.
Pejabat yang dimaksud tersebut ditunjuk karena kewenangannya dalam pembuatan akta dan pengesahan terjadinya perolehan hak. Pejabat tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang dan Pejabat Pertanahan. Pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud oleh UU BPHTB, dalam pelaksanaannya mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagaimana yang    diatur dalam Pasal 24 ayat 3 yang berbunyi: “Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan”. Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat 1 UU BPHTB, menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya”.


G. Pelaksanaan Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atas
     Warisan Tanah dan/atau Bangunan.

1.  Penetapan Obyek BPHTB atas warisan Tanah dan/atau Bangunan

Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri berdasarkan prinsip kemandirian. Untuk mendukung peningkatan pajak tersebut, maka pemerintah telah melakukan reformasi di bidang perpajakan, yaitu dengan mengeluarkan beberapa Undang-Undang Perpajakan.
Sistem pemungutan pajak dengan adanya pembaharuan mengalami perubahan yang mendasar mengenai ciri dan coraknya. Semula sistem yang digunakan dalam pemungutan pajak didasarkan pada sistem Officia Assesment, di mana tugas administrasi perpajakan menitikberatkan pada tugas merampungkan/menetapkan semua surat pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Reformasi di bidang perpajakan mengakibatkan sistem pemungutan pajak berubah dengan sistem Self Assessment, dimana Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak juga diwajibkan melaporkan jumlah pajak yang terhutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sistem Self Assessment memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada anggota masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, memberikan jaminan hukum dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak sehingga diharapkan dapat lebih merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan dalam masyarakat.
Sistem Self Assessment diharapkan dalam diri Wajib Pajak dapat tumbuh adanya:
1. Tax Consciousness (kesadaran/kepatuhan)
2. Kejujuran
3. Tax Mindedness (hasrat untuk membayar)
4. Tax Discipline yaitu disiplin Wajib Pajak terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan pajak sehingga pada waktunya Wajib Pajak dengan sendirinya memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan undang-undang kepadanya seperti memasukkan SPT pada waktunya, membayar pajak tanpa diperingatkan.

Sistem Self Assessment berkaitan dengan kemandirian suatu negara dalam menjalankan roda pemerintahannya, ini bisa dilihat dari sumber-sumber penerimaan negara baik untuk pembiayaan pemerintah maupun untuk pembangunan.
Peningkatan penerimaan di sektor perpajakan harus dibarengi dengan adanya peningkatan kesadaran atau kepatuhan masyarakat di bidang perpajakan dan harus pula ditunjang dengan iklim yang mendukung peningkatan peran aktif masyarakat serta pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Salah satu butir penjelasan umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa kewajiban perpajakan merupakan kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional, karena pada prinsipnya semua rakyat mempunyai hak untuk berperan serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan, oleh karena itu pemerataan beban pajak ke seluruh lapisan masyarakat merupakan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelunasan pajak, seperti kapan harus dibayar, kepada siapa pajak harus dibayarkan dan sanksi apa yang harus dijatuhkan jika ada salah perhitungan, apa yang terjadi jika lupa dan sanksi apa yang akan diterima jika melanggar ketetapan pajak.
        Pengenaan pajak BPHTB menggunakan Self Assessment System, tetapi karena PPAT juga merupakan badan usaha jasa, maka tentunya memberikan pelayanan yang sangat baik kepada pelanggannya dengan membantu menghitung dan membayar pengenaan BPHTB. Pihak ketiga yang dimaksud adalah pejabat-pejabat yang berkaitan dalam proses hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Pengenaan BPHTB dalam prakteknya pihak ketiga lebih banyak berperan dalam masalah membantu perhitungan dan pembayaran pajak dibandingkan Wajib Pajak. Wajib Pajak biasanya tidak mengetahui adanya peraturan mengenai BPHTB, sebelum ada pemberitahuan dari pihak ketiga. Selain itu sifat dari pajak BPHTB merupakan pajak atas bertambahnya kekayaan yang pengenaannya didasarkan atas seseorang atau badan yang mengalami kenaikan atau pertambahan kekayaan, biasanya hanya dikenakan satu kali.
Pajak BPHTB merupakan utang pajak (perikatan pajak) yang timbul karena Undang-Undang saja, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia (dalam hal ini SKP oleh Fiscus) asalkan telah dipenuhi syarat Tatbestand yang terdiri dari keadaan-keadaan tertentu atau peristiwa ataupun perbuatan tertentu sebagaimana telah disebutkan dalam UU BPHTB termasuk salah satu obyek pajak.
obyek pajak dari BPHTB khususnya obyek pajak warisan masih relartif baru sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UU BPHTB sehingga banyak masyarakat tidak mengetahuinya. Penerapan warisan sebagai obyek pajak BPHTB tidak dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang tersebut sehinga menimbulkan interpretasi yang berbeda mengingat warisan itu sendiri sampai saat ini belum ada peraturan yang bersifat nasional dan masih diatur dalam hukum-hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Hukum Waris Barat menurut KUHPerdata, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat.
obyek pajak warisan yang dikenakan pajak BPHTB dapat dilakukan dengan  2  (dua) cara, yaitu:
a. Warisan sebagai pemilikan bersama
Warisan sebagai pemilikan bersama adalah warisan yang masih merupakan satu kesatuan yang utuh, merupakan pemilikan bersama terikat, yaitu pemilikan bersama dimana keadaan pemilikan bersama tersebut bukan merupakan tujuan langsung dari pemilik bersama yang bersangkutan, melainkan merupakan akibat dari peristiwa hukum yang lain, dalam hal ini adalah kematian dari seseorang yang merupakan pewaris yang mewariskan tanah dan/atau bangunan kepada ahli warisnya.
Proses penetapan warisan sebagai obyek pajak BPHTB dalam bentuk pemilikan bersama terjadi dalam hal seseorang (pewaris) yang memiliki tanah dan/atau bangunan meninggal dunia dengan meninggalkan seseorang atau beberapa orang ahli waris maka tanah dan/atau bangunan yang merupakan harta warisan tersebut secara bersama-sama dikuasai oleh ahliwarisnya jika ahli warisnya lebih dari satu. Apabila tanah dan/atau bangunan yang dimiliki oleh pewaris telah memiliki bukti hak berupa sertifikat , hal ini akan terlihat di dalam sertifikat yang sebelumnya terdaftar atas nama pewaris, proses ini disebut dengan turun waris.
b. Warisan yang telah terbagi
Warisan yang telah terbagi adalah warisan yang telah terbagi atau dipecah sesuai dengan bagian masing-masing ahli waris. Dalam hal ini warisan berupa tanah dan/atau bangunan milik pewaris langsung dibagi atau dipecah oleh ahli warisnya apabila ahli warisnya lebih dari satu.
Proses penetapan warisan sebagai obyek pajak BPHTB sebagai warisan yang telah terbagi tidak melalui proses turun waris terlebih dahulu tetapi langsung dibagi atau dipecah sesuai dengan bagian masing-masing ahli waris.
Penetapan obyek pajak BPHTB berupa warisan dapat dilakukan dengan dua cara dan Wajib Pajak dapat memilih sesuai kehendak dan kebutuhannya mengenai warisan tanah dan/atau bangunan yang telah diterimanya dari pewaris, apakah akan dikuasai bersama-sama dengan ahli waris lainnya atau langsung dibagi/dipecah dengan bagiannya.


2. Penetapan Nilai Pokok Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) atas Obyek Warisan Tanah dan/atau Bangunan.

Pajak sebagai salah satu sektor pendapatan yang saat ini dianggap sangat berpotensi terus diupayakan peningkatannya oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah mendapat kesempatan sebesar-besarnya untuk mengelola potensi daerah sebagimana dinyatakan dalam Pasal 7 yaitu:
1.   Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiscal, serta kewenangan bidang lain .
2.   Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber alam serta teknologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
Dalam penetapan NPOPTKP atas obyek pajak BPHTB peran pemerintah daerah sangat besar. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU BPHTB menyatakan:
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, temasuk suami/isteri dimana Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tigaratus juta rupiah).

Ketentuan ini memberikan kebebasan pada pemerintah daerah untuk menentukan sendiri besarnya NPOPTKP yang akan ditetapkan, disesuaikan dengan kondisi kebutuhan masing-masing daerah yang satu sama lain berbeda. Kebebasan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menentukan sendiri NPOPTKP tersebut dapat dilihat dari katakata “Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional.”
Kebijakan pemerintah daerah dalam menetapkan besarnya NPOPTKP sangat berkaitan dengan kepentingan pemerintah dalam menigkatkan penerimaan daerah melalui penerimaan pajak dan kepentingan pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah melalui penerimaan pajak. Hal ini dikarenakan pembagian hasil penerimaan pajak BPHTB diterima oleh pemerintah daerah khususnya pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU BPHTB yang menyatakan:
1.   Penerimaan negara dari BPHTB dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat dan 80% (delapanpuluh persen) untuk pemerintah daerah yang bersangkutan. Bagian pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dibagikan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota secara merata.
2.   Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan imbangan 20% (duapuluh persen) untuk Pemerintah propinsi dan 80% (delapanpuluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan
3.   Tata cara pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.

Penetapan NPOPTKP dalam hal obyek pajak warisan berlaku untuk obyek pajak warisan sebagai pemilikan bersama maupun warisan yang telah terbagi. Perbedaannya adalah pada saat perhitungan besarnya pajak BPHTB yang harus dipungut yaitu sebagai berikut :

Contoh kasus 1.

A meninggal dunia dengan meninggalkan tiga orang ahli waris yaitu B, C dan D. Sebelum meninggal A telah memiliki tanah dan bangunan yang telah bersertifikat seluas 500 m2 dengan NJOP sebesar Rp. 500.000.000,00. Untuk menjawab kasus ini ada 2 (dua) cara dalam penghitungan besarnya pajak BPHTB yang harus dibayar yaitu :
1.   Warisan sebagai pemilikan bersama

Rumus :

BPHTB   = (NPOPKP x Tarif Pajak) x 50%
               = ( (NPOP – NPOPTKP) x 5% ) x 50%
               = (Rp.500.000.000,00-Rp.100.000.000,00) x5%x50%
               = (Rp. 400.000.000,00 x 5%) x 50%
               = Rp. 20.000.000,00 x 50%
               = Rp. 10.000.000,00


2.   Warisan yang telah terbagi
Rumus :
BPHTB   = (NPOPKP x Tarif Pajak) x 50%
   = ((NPOP-NPOPTKP) x 5% ) x 50%
Besarnya BPHTB yang harus dihitung adalah BPHTB yang harus dibayar oleh masing-masing ahli waris yaitu B, C dan D.
Bagian B, C dan D masing-masing adalah:
1/3 x Rp. 500.000.000,000 = Rp. 166.000.000,00
Jadi besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh B, C dan D adalah sebagai berikut :
BPHTB B, C dan D = Rp.166.000.000,00-Rp.100.000.000,00) x 5% x 50%
                                 = (Rp. 66.000.000,00 x 5%) x 50%
                                 = Rp.3.300.000,00 x 50%
                                 = Rp. 1.650.000,00
Berdasarkan kedua contoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa besarnya BPHTB untuk obyek pajak warisan yang telah terbagi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan obyek pajak warisan bagi Wajib Pajak.



Jumat, 05 Agustus 2011

Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah

A. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli
Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain.
Sejak berlakunya UUPA, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.
Menurut Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, ditegaskan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembuktian bahwa hak atas tanah tersebut dialihkan, maka harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yaitu akta jual beli yang kemudian akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 95 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah (pembeli tanah).

D.  Peranan PPAT Dalam Pendaftaran Tanah
Tanah sebagai benda penting bagi manusia, memegang peranan yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan manusia sebagai tempat bermukim maupun sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usaha. Kepemilikan hak atas tanah yang sangat penting untuk menjamin hak seseorang atau suatu badan atas tanah yang dimiliki atau dikuasainya.
Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, ada hal-hal yang merupakan pembaharuan hukum di Indonesia bukan saja di bidang pertanahan tetapi di lain-lain bidang hukum positip. UUPA diumumkan didalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, yang penjelasannya dimuat didalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2043.
Lahirnya UUPA maka dihapuskanlah dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum agraria kolonial yang sejak Indonesia merdeka masih tetap berlaku karena Indonesia belum mempunyai hukum agraria nasional, dan juga dualisme hak atas tanah dihapuskan menjadi satu sistem hukum, yaitu sistem hukum hak atas    tanah di Indonesia berdasarkan hukum adat, sehingga tidak lagi diadakan perbedaan atas tanah-tanah hak adat seperti tanah hak ulayat, gogolan, bengkok dan lain-lain, maupun tanah-tanah hak barat, seperti tanah hak Eigendom, Erfpachtt, Opstal dan lain-lain, dimana tanah hak barat tersebut harus dikonversi menjadi hak-hak bentuk baru yang diatur dalam UUPA. Diketahui tanah-tanah hak barat tersebut terdaftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrijvingsordonnantie (Ordonantie Balik Nama Stbl.1834 No.27) dan peraturan mengenai kadaster.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, kegiatan pendaftaran tanah menjadi sangat penting dan mutlak untuk dilaksanakan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA yang menghendaki diselenggarakannya pendaftaran hak atas tanah  di Indonesia. Pengaturan mengenai pendaftaran tanah diselenggarakan dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. 
Dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaaan bidang tanah yang bersangkutan baik yang menyangkut data fisik maupun data yuridis tanah. Dalam pencatatan data yuridis ini khususnya pencatatan perubahan data yang sudah    tercatat sebelumnya maka peranan PPAT sangatlah penting.
PPAT sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta dalam peralihan hak atas tanah, akta pembebanan serta surat kuasa pembebanan hak tanggungan, juga bertugas membantu Kepala Kantor Pertanahan Nasional dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan atau bangunan yang akan dijadikan dasar bagi bukti pendaftaran tanah.
Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA.
Mengingat pentingnya fungsi PPAT perlu kiranya diadakan peraturan tersendiri yang mengatur tentang PPAT sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, demikian juga setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dikatakan PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun”.
Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka pada dasarnya kewenangan PPAT berkaitan erat dengan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan haruslah dibuat akta otentik. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah dan bangunan belum sah.
Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah.
Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut peraturan yang telah disempurnakan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran jual beli hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai alat bukti yang sah. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum.
Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk melayani permohonan-permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran  tanah serta peraturan Jabatan PPAT. Dalam menghadapi permohonan-permohonan tersebut PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan. 
PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan.
Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan, setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertahankan haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan memperoleh hak tersebut.
Adanya akta PPAT yang bermaksud membuat akta perjanjian pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan jika akta peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku  tanah, maka kepala Kantor Pertanahan memberikan sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan kepada pembeli.

E. Pelaksanaan Pembuatan Akta Jual Beli oleh Pejabat Pembuat Tanah
Keberadaan pejabat dalam suatu tatanan ketatanegaraan sangat dibutuhkan, karena pejabat merupakan pengejawantahan dari personifikasi Negara. Negara dalam suatu konsep ketatanegaraan dalam menjalankan fungsinya diwakili oleh Pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan fungsinya dan tugasnya dalam merealisasikan tujuan Negara diwakili oleh pejabat. Oleh karena itu, sukses tidaknya sebuah  lembaga negara ditentukan oleh kemampuan pejabatnya dalam menjalankan roda Pemerintahan. Salah satu tugas pejabat, khususnya PPAT, keberadaannya diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Pemerintah Nomor 37  Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini merupakan konsekuensi ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, amandemen ke tiga 3, yang menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.
Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Perbuatan hukum yang dilakukan dihadapan PPAT maka akan lahir akta otentik yang akan dijadikan sebagai alat bukti bagi para pihak telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum dimaksud.
Selain dibuat dihadapan pejabat umum, untuk dapat memperoleh otentisitasnya maka akta yang bersangkutan harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang dan pejabat umum dihadapan siapa   akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu, ditempat dimana akta itu dibuatnya.
Pembuatan akta PPAT menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, ditegaskan bahwa: “ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 96 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan bahwa akta PPAT harus mempergunakan formulir atau blanko sesuai dengan bentuk yang telah disediakan dan cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 sampai dengan 23 peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut.
Mengenai syarat bahwa akta itu harus dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta, ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan: “PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”.
Pada saat penandatanganan akta jual beli dilakukan, terlebih dahulu blanko akta jual beli tersebut diisi dengan nama PPAT berikut dengan saksi-saksi dari PPAT yang daerah kerjanya meliputi daerah di mana obyek hak atas tanah tersebut berada,  serta telah nama para pihak, objek jual belinya berdasarkan dokumen-dokumen dan data-data yang telah disampaikan oleh para pihak. Akta tersebut kemudian oleh PPAT dibacakan kepada para pihak dan selanjutnya setelah para pihak telah  mengerti akan isi dalam akta jual beli tersebut, maka para pihak menandatangani  akte jual beli tersebut, kemudian oleh saksi-saksi dan PPAT.
Dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT, dibutuhkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh PPAT sebelum dilakukan penandatanganan akta jual belinya oleh para pihak yang berkepentingan. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.   Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli.
2.   Akta harus mempergunakan formulir yang telah ditentukan.
3.   Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat.
4.   Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan:
a.  bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum   penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.  bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi       pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.   bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana        dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;
d.  Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat   hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar.
5.   Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.  Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
7. PPAT  wajib  membacakan  akta  kepada  para  pihak  yang  bersangkutan  dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.
8.   Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
9. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka “PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagai mana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan”.
       sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 91 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, secara tegas menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”.
Konsekuensi yang akan diterima oleh PPAT, terhadap pelanggaran sebagaimana yang ditentukan dalam  Pasal 91 ayat (1) akan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
 Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PPAT harus menolak untuk membuat akta apabila:
1.   mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
2.   mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
a.   surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b.  surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
c. salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau
d.  salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau
e. untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
f.    obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g.  tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Selanjutnya dalam penjelasan pada Pasal 39 ayat 1 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menyebutkan contoh syarat yang dimaksudkan dalam huruf g adalah misalnya larangan yang diadakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan untuk membuat akta, jika kepadanya tidak diserahkan fotocopy surat setoran pajak penghasilan yang bersangkutan.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam menjalankan tugasnya jabatannya sebagai pembuat akta dibidang pertanahan, PPAT harus memiliki kecermatan dan ketelitian dalam memeriksa kelengkapan berkas-berkas dalam pembuatan akta jual beli. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh PPAT yaitu:
1.  Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari identitas para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak.
2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena jika jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara)
3.  Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani.
4.  Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 
5.  Tanah yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang bersangkutan.