Total Tayangan Halaman

Senin, 21 November 2011

PENGENAAN BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH DAN BANGUNAN YANG DIPEROLEH BERDASARKAN PEWARISAN

Oleh : Muhammad Yusrizal, SH. MKn


A. Pengertian Pajak
Menurut Undang-Undang Perpajakan Nasional, pengertian pajak merupakan iuran rakyat kepada negara berdasarkan undang-undang dengan tidak mendapat jasa timbal yang langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran umum dan pembangunan.
Sedangkan menurut Soeparman Soemahamidjaja dalam disertasinya yang berjudul  “Pajak Berdasarkan Asas Gotong Royong” sebagai berikut: “Pajak adalah iuran wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam dalam mencapai kesejahteraan umum”.
           Pajak tergolong dalam hutang uang dalam arti sempit, yang mewajibkan wajib pajak (debitur) untuk membayar sejumlah uang pada Kas negara (kreditur). Jadi hutang pajak merupakan hutang yang timbul secara khusus karena negara (kreditur) terikat, dan tidak bisa memilih secara bebas siapa yang akan dijadikan debiturnya, hal ini terjadi karena undang-undang. Dengan demikian dapat dipastikan bahwa berlakunya undang-undang perpajakan akan berakibat kepada orang atau badan yang telah memenuhi syarat berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut untuk memenuhi kewajibannya membayar pajak.
Di tinjau dari segi hukum, pajak adalah perikatan yang timbul karena undang-undang yang mewajibkan siapapun yang telah memenuhi syarat yang telah ditentukan oleh undang-undang untuk membayar sejumlah kepada negara yang pelaksanaannya dapat dipaksakan dengan tanpa adanya imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk dan digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran rutin pembangunan.

B. Fungsi dan Jenis Pajak
1. Fungsi Pajak
a.  Fungsi Anggaran (Budgetair)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk menarik dana dari masyarakat atau sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.
b.  Fungsi Mengatur (Regulation)
Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
2. Jenis Pajak
Secara umum pajak dapat dibagi menjadi 3 (tiga) jenis:
a.  Berdasarkan Golongan
1.   Pajak Langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dibebankan kepada pihak atau orang lain, misalnya Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPPHTB).
2.   Pajak Tidak Langsung yaitu pajak yang pembebanannya dapat dilimpahkan kepada pihak atau orang lain, misalnya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Pembangunan (PP-1).
    b.  Berdasarkan Sifat
1.  Pajak Subyektif yaitu pajak yang berkaitan erat dengan keadaan masing-masing orang atau pribadi selaku subyek, besarnya pajak sangat dipengaruhi oleh keadaan wajib pajak, misal Pajak Penghasilan (PPh).
2. Pajak Obyektif yaitu pajak yang berkaitan erat dengan obyek pajak, sehingga besar pajak tergantung kepada obyek tanpa dipengaruhi keadaan subyek, misal Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), Cukai Rokok, Pajak  Bumi dan Bangunan, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
    c.  Berdasarkan Lembaga Pemungut
1. Pajak Pusat atau Pajak Negara yaitu pemungutan pajak oleh aparat pemerintah pusat sebagai sumber devisa negara, misal Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN);
2.  Pajak Daerah yaitu pemungutan pajak oleh aparat pemerintah daerah sebagai sumber pendapatan daerah, misal: Pajak Kendaraan Bermotor (Pajak Propinsi dan Kabupaten atau Kota), Pajak Pembangunan I (Pajak Kabupaten dan Kota).

C.  Pengertian Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB).
BPHTB atau bea perolehan hak atas tanah dan bangunan adalah pajak yang dikenakan atas perolehan perolehan hak atas tanah dan bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya atau dimilikinya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang perseorangan pribadi atau badan. Objek pajak BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. DPP / Dasar pengenaan Pajak BPHTB adalah Nilai Perolehan Objek Bajak atau disingkat menjadi NPOP. NPOP dapat berbentuk harga transaksi dan nilai pasar. Jika nilai NPOP tidak diketahui atau lebih kecil dari NJOP PBB, maka NJOP PBB dapat dipakai sebagai dasar pengenaan pajak BPHTB.
BPHTB yaitu merupakan pajak yang harus dibayar akibat perolehan hak atas tanah dan bangunan meliputi hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan.

D.  Subjek dan Objek Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
Subjek BPHTB adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh hak atas tanah dan atau bangunan. Subjek BPHTB yang dikenakan kewajiban membayar BPHTB menurut perundang-undangan perpajakan yang menjadi Wajib Pajak.
Objek BPHTB adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan (disengaja) atau peristiwa hukum (otomatis / tidak disengaja) yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Contoh peristiwa hukum adalah warisan karena pemilik meninggal dunia.
Perolehan hak pada dasarnya ada dua : yaitu pemindahan hak dan perolehan hak baru. Pemindahan hak berarti sebelum memperoleh hak, hak atas tanah dan atau bangunan tersebut sebelumnya sudah ada di “orang” lain. Karena perbuatan atau peristiwa tertentu, haknya berpindah kepada subjek hukum A ke subjek hukum ke B. Sedangkan perolehan hak baru biasanya berasal dari tanah negara kemudian diperoleh subjek pajak. Atau konversi hak, contohnya, dari hak adat menjadi hak milik.


E.  Dasar Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan (BPHTB)
Dasar Pengenaan Pajak adalah Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP), yaitu dalam hal:
a.    Jual beli adalah harga transaksi;
b.    Tukar-menukar adalah nilai pasar;
c.    Hibah adalah nilai pasar;
d.    Hibah wasiat adalah nilai pasar;
e.    Waris adalah nilai pasar;
f.     Pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya adalah nilai pasar;
g.    Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah nilai pasar;
h.    Peralihan hak karena pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah nilai pasar;
i.     pemberian hak baru atas tanah sebagai kelanjutan dari pelepasan hak adalah nilai pasar;
j.     Pemberian hak baru atas tanah di luar pelepasan hak adalah nilai pasar;
k.    Penggabungan usaha adalah nilai pasar;
l.     Peleburan usaha adalah nilai pasar;
m.   Pemekaran usaha adalah nilai pasar;
n.    Hadiah adalah nilai pasar;
o.    Penunjukan pembeli dalam lelang adalah harga transaksi yang tercantum dalam Risalah Lelang;
Apabila NPOP dalam hal huruf a sampai dengan n tidak diketahui atau lebih rendah daripada NJOP PBB yang digunakan dalam pengenaan PBB pada tahun terjadinya perolehan, dasar pengenaan pajak yang dipakai adalah NJOP PBB.

F.  Pejabat Yang Berwenang Dalam Pemenuhan Ketentuan BPHTB.
Undang-undang BPHTB menentukan beberapa Pejabat yang berwenang dalam pemenuhan ketentuan BPHTB atas suatu perolehan hak atas tanah dan bangunan. Para Pejabat ini diberi kewenangan untuk memeriksa apakah BPHTB terutang sudah disetorkan ke Kas Negara oleh pihak yang memperoleh hak sebelum pejabat yang berwenang menandatangani dokumen yang berkenaan dengan  perolehan dimaksud.
Pejabat yang dimaksud tersebut ditunjuk karena kewenangannya dalam pembuatan akta dan pengesahan terjadinya perolehan hak. Pejabat tersebut adalah Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), Pejabat Lelang dan Pejabat Pertanahan. Pejabat yang berwenang sebagaimana yang dimaksud oleh UU BPHTB, dalam pelaksanaannya mempunyai tugas pokok dan fungsi sebagaimana yang    diatur dalam Pasal 24 ayat 3 yang berbunyi: “Terhadap pendaftaran peralihan hak atas tanah karena waris atau hibah wasiat hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pertanahan Kabupaten/Kota pada saat Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak berupa Surat Setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan”. Selanjutnya dalam Pasal 25 ayat 1 UU BPHTB, menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris dan Kepala Kantor Lelang Negara melaporkan pembuatan akta atau Risalah Lelang perolehan hak atas tanah dan atau bangunan kepada Direktorat Jenderal Pajak selambat-lambatnya pada tanggal 10 (sepuluh) bulan berikutnya”.


G. Pelaksanaan Pengenaan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan atas
     Warisan Tanah dan/atau Bangunan.

1.  Penetapan Obyek BPHTB atas warisan Tanah dan/atau Bangunan

Pajak sebagai sumber utama penerimaan negara perlu terus ditingkatkan sehingga pembangunan nasional dapat dilaksanakan dengan kemampuan sendiri berdasarkan prinsip kemandirian. Untuk mendukung peningkatan pajak tersebut, maka pemerintah telah melakukan reformasi di bidang perpajakan, yaitu dengan mengeluarkan beberapa Undang-Undang Perpajakan.
Sistem pemungutan pajak dengan adanya pembaharuan mengalami perubahan yang mendasar mengenai ciri dan coraknya. Semula sistem yang digunakan dalam pemungutan pajak didasarkan pada sistem Officia Assesment, di mana tugas administrasi perpajakan menitikberatkan pada tugas merampungkan/menetapkan semua surat pemberitahuan guna menentukan jumlah pajak yang terhutang dan jumlah pajak yang seharusnya dibayar. Reformasi di bidang perpajakan mengakibatkan sistem pemungutan pajak berubah dengan sistem Self Assessment, dimana Wajib Pajak diwajibkan untuk menghitung, memperhitungkan dan membayar sendiri jumlah pajak yang seharusnya terhutang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, sehingga penentuan penetapan besarnya pajak yang terhutang berada pada Wajib Pajak sendiri. Wajib Pajak juga diwajibkan melaporkan jumlah pajak yang terhutang dan yang telah dibayar sebagaimana ditentukan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Sistem Self Assessment memberikan kepercayaan yang lebih besar kepada anggota masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya, memberikan jaminan hukum dan kepastian hukum mengenai hak dan kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak sehingga diharapkan dapat lebih merangsang peningkatan kesadaran dan tanggung jawab perpajakan dalam masyarakat.
Sistem Self Assessment diharapkan dalam diri Wajib Pajak dapat tumbuh adanya:
1. Tax Consciousness (kesadaran/kepatuhan)
2. Kejujuran
3. Tax Mindedness (hasrat untuk membayar)
4. Tax Discipline yaitu disiplin Wajib Pajak terhadap pelaksanaan peraturan-peraturan pajak sehingga pada waktunya Wajib Pajak dengan sendirinya memenuhi kewajiban-kewajiban yang dibebankan undang-undang kepadanya seperti memasukkan SPT pada waktunya, membayar pajak tanpa diperingatkan.

Sistem Self Assessment berkaitan dengan kemandirian suatu negara dalam menjalankan roda pemerintahannya, ini bisa dilihat dari sumber-sumber penerimaan negara baik untuk pembiayaan pemerintah maupun untuk pembangunan.
Peningkatan penerimaan di sektor perpajakan harus dibarengi dengan adanya peningkatan kesadaran atau kepatuhan masyarakat di bidang perpajakan dan harus pula ditunjang dengan iklim yang mendukung peningkatan peran aktif masyarakat serta pemahaman akan hak dan kewajibannya dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Salah satu butir penjelasan umum Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan disebutkan bahwa kewajiban perpajakan merupakan kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan negara dan pembangunan nasional, karena pada prinsipnya semua rakyat mempunyai hak untuk berperan serta dalam pembiayaan negara dan pembangunan, oleh karena itu pemerataan beban pajak ke seluruh lapisan masyarakat merupakan pajak dan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelunasan pajak, seperti kapan harus dibayar, kepada siapa pajak harus dibayarkan dan sanksi apa yang harus dijatuhkan jika ada salah perhitungan, apa yang terjadi jika lupa dan sanksi apa yang akan diterima jika melanggar ketetapan pajak.
        Pengenaan pajak BPHTB menggunakan Self Assessment System, tetapi karena PPAT juga merupakan badan usaha jasa, maka tentunya memberikan pelayanan yang sangat baik kepada pelanggannya dengan membantu menghitung dan membayar pengenaan BPHTB. Pihak ketiga yang dimaksud adalah pejabat-pejabat yang berkaitan dalam proses hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Pengenaan BPHTB dalam prakteknya pihak ketiga lebih banyak berperan dalam masalah membantu perhitungan dan pembayaran pajak dibandingkan Wajib Pajak. Wajib Pajak biasanya tidak mengetahui adanya peraturan mengenai BPHTB, sebelum ada pemberitahuan dari pihak ketiga. Selain itu sifat dari pajak BPHTB merupakan pajak atas bertambahnya kekayaan yang pengenaannya didasarkan atas seseorang atau badan yang mengalami kenaikan atau pertambahan kekayaan, biasanya hanya dikenakan satu kali.
Pajak BPHTB merupakan utang pajak (perikatan pajak) yang timbul karena Undang-Undang saja, tanpa diperlukan suatu perbuatan manusia (dalam hal ini SKP oleh Fiscus) asalkan telah dipenuhi syarat Tatbestand yang terdiri dari keadaan-keadaan tertentu atau peristiwa ataupun perbuatan tertentu sebagaimana telah disebutkan dalam UU BPHTB termasuk salah satu obyek pajak.
obyek pajak dari BPHTB khususnya obyek pajak warisan masih relartif baru sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) huruf a UU BPHTB sehingga banyak masyarakat tidak mengetahuinya. Penerapan warisan sebagai obyek pajak BPHTB tidak dijelaskan dalam penjelasan Undang-Undang tersebut sehinga menimbulkan interpretasi yang berbeda mengingat warisan itu sendiri sampai saat ini belum ada peraturan yang bersifat nasional dan masih diatur dalam hukum-hukum yang berlaku di Indonesia yaitu Hukum Waris Barat menurut KUHPerdata, Hukum Waris Islam dan Hukum Waris Adat.
obyek pajak warisan yang dikenakan pajak BPHTB dapat dilakukan dengan  2  (dua) cara, yaitu:
a. Warisan sebagai pemilikan bersama
Warisan sebagai pemilikan bersama adalah warisan yang masih merupakan satu kesatuan yang utuh, merupakan pemilikan bersama terikat, yaitu pemilikan bersama dimana keadaan pemilikan bersama tersebut bukan merupakan tujuan langsung dari pemilik bersama yang bersangkutan, melainkan merupakan akibat dari peristiwa hukum yang lain, dalam hal ini adalah kematian dari seseorang yang merupakan pewaris yang mewariskan tanah dan/atau bangunan kepada ahli warisnya.
Proses penetapan warisan sebagai obyek pajak BPHTB dalam bentuk pemilikan bersama terjadi dalam hal seseorang (pewaris) yang memiliki tanah dan/atau bangunan meninggal dunia dengan meninggalkan seseorang atau beberapa orang ahli waris maka tanah dan/atau bangunan yang merupakan harta warisan tersebut secara bersama-sama dikuasai oleh ahliwarisnya jika ahli warisnya lebih dari satu. Apabila tanah dan/atau bangunan yang dimiliki oleh pewaris telah memiliki bukti hak berupa sertifikat , hal ini akan terlihat di dalam sertifikat yang sebelumnya terdaftar atas nama pewaris, proses ini disebut dengan turun waris.
b. Warisan yang telah terbagi
Warisan yang telah terbagi adalah warisan yang telah terbagi atau dipecah sesuai dengan bagian masing-masing ahli waris. Dalam hal ini warisan berupa tanah dan/atau bangunan milik pewaris langsung dibagi atau dipecah oleh ahli warisnya apabila ahli warisnya lebih dari satu.
Proses penetapan warisan sebagai obyek pajak BPHTB sebagai warisan yang telah terbagi tidak melalui proses turun waris terlebih dahulu tetapi langsung dibagi atau dipecah sesuai dengan bagian masing-masing ahli waris.
Penetapan obyek pajak BPHTB berupa warisan dapat dilakukan dengan dua cara dan Wajib Pajak dapat memilih sesuai kehendak dan kebutuhannya mengenai warisan tanah dan/atau bangunan yang telah diterimanya dari pewaris, apakah akan dikuasai bersama-sama dengan ahli waris lainnya atau langsung dibagi/dipecah dengan bagiannya.


2. Penetapan Nilai Pokok Obyek Pajak Tidak Kena Pajak (NPOPTKP) atas Obyek Warisan Tanah dan/atau Bangunan.

Pajak sebagai salah satu sektor pendapatan yang saat ini dianggap sangat berpotensi terus diupayakan peningkatannya oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah, Pemerintah Daerah mendapat kesempatan sebesar-besarnya untuk mengelola potensi daerah sebagimana dinyatakan dalam Pasal 7 yaitu:
1.   Kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan moneter dan fiscal, serta kewenangan bidang lain .
2.   Kewenangan bidang lain, sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi kebijakan tentang perencanaan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber alam serta teknologi yang strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
Dalam penetapan NPOPTKP atas obyek pajak BPHTB peran pemerintah daerah sangat besar. Berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU BPHTB menyatakan:
Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah), kecuali dalam hal perolehan hak karena waris atau hibah wasiat yang diterima orang pribadi yang masih dalam hubungan keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat ke atas atau satu derajat ke bawah dengan pemberi hibah wasiat, temasuk suami/isteri dimana Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tigaratus juta rupiah).

Ketentuan ini memberikan kebebasan pada pemerintah daerah untuk menentukan sendiri besarnya NPOPTKP yang akan ditetapkan, disesuaikan dengan kondisi kebutuhan masing-masing daerah yang satu sama lain berbeda. Kebebasan yang diberikan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk menentukan sendiri NPOPTKP tersebut dapat dilihat dari katakata “Nilai Perolehan Obyek Pajak Tidak Kena Pajak ditetapkan secara regional.”
Kebijakan pemerintah daerah dalam menetapkan besarnya NPOPTKP sangat berkaitan dengan kepentingan pemerintah dalam menigkatkan penerimaan daerah melalui penerimaan pajak dan kepentingan pemerintah daerah dalam meningkatkan penerimaan daerah melalui penerimaan pajak. Hal ini dikarenakan pembagian hasil penerimaan pajak BPHTB diterima oleh pemerintah daerah khususnya pemerintah daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 23 UU BPHTB yang menyatakan:
1.   Penerimaan negara dari BPHTB dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk pemerintah pusat dan 80% (delapanpuluh persen) untuk pemerintah daerah yang bersangkutan. Bagian pemerintah pusat sebagaimana dimaksud dibagikan kepada seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota secara merata.
2.   Bagian pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dibagi dengan imbangan 20% (duapuluh persen) untuk Pemerintah propinsi dan 80% (delapanpuluh persen) untuk Pemerintah Kabupaten/Kota yang bersangkutan
3.   Tata cara pembagian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.

Penetapan NPOPTKP dalam hal obyek pajak warisan berlaku untuk obyek pajak warisan sebagai pemilikan bersama maupun warisan yang telah terbagi. Perbedaannya adalah pada saat perhitungan besarnya pajak BPHTB yang harus dipungut yaitu sebagai berikut :

Contoh kasus 1.

A meninggal dunia dengan meninggalkan tiga orang ahli waris yaitu B, C dan D. Sebelum meninggal A telah memiliki tanah dan bangunan yang telah bersertifikat seluas 500 m2 dengan NJOP sebesar Rp. 500.000.000,00. Untuk menjawab kasus ini ada 2 (dua) cara dalam penghitungan besarnya pajak BPHTB yang harus dibayar yaitu :
1.   Warisan sebagai pemilikan bersama

Rumus :

BPHTB   = (NPOPKP x Tarif Pajak) x 50%
               = ( (NPOP – NPOPTKP) x 5% ) x 50%
               = (Rp.500.000.000,00-Rp.100.000.000,00) x5%x50%
               = (Rp. 400.000.000,00 x 5%) x 50%
               = Rp. 20.000.000,00 x 50%
               = Rp. 10.000.000,00


2.   Warisan yang telah terbagi
Rumus :
BPHTB   = (NPOPKP x Tarif Pajak) x 50%
   = ((NPOP-NPOPTKP) x 5% ) x 50%
Besarnya BPHTB yang harus dihitung adalah BPHTB yang harus dibayar oleh masing-masing ahli waris yaitu B, C dan D.
Bagian B, C dan D masing-masing adalah:
1/3 x Rp. 500.000.000,000 = Rp. 166.000.000,00
Jadi besarnya BPHTB yang harus dibayar oleh B, C dan D adalah sebagai berikut :
BPHTB B, C dan D = Rp.166.000.000,00-Rp.100.000.000,00) x 5% x 50%
                                 = (Rp. 66.000.000,00 x 5%) x 50%
                                 = Rp.3.300.000,00 x 50%
                                 = Rp. 1.650.000,00
Berdasarkan kedua contoh di atas maka dapat disimpulkan bahwa besarnya BPHTB untuk obyek pajak warisan yang telah terbagi jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan obyek pajak warisan bagi Wajib Pajak.



Selasa, 09 Agustus 2011

Tinjauan Mengenai Tugas dan Kewenangan Badan Pertanahan Nasional

1. Sejarah Badan Pertanahan Nasional
            Badan pertanahan nasional adalah suatu lembaga non departemen ynag dibentuk pada tanggal 19 juli 1998 berdasarkan keputusan presiden Republik Indonesia nomor 26 tahun 1998. Badan ini merupakan peningkatan dari direktorat jenderal agraria departemen. Peningkatan status tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tanah sudah tidak lagi merupakan masalah agraria yang selama  ini lazimnya di identifikasikan sebagai pertanahan, namun tanah setelah    berkembang menjadi masalah lintas sektoral yang mempunyai dimensi pertahanan dan keamanan.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Tugas  yang demikian luas tersebut terlalu besar untuk ditangani suatu direktorat jenderal pada suatu departemen, oleh karena itu diperlukan suatu badan yang lebih tinggi dibawah presiden agar dapat melaksanakan tugasnya dengan otoritas seimbang.

62
 
Dibentuknya badan pertanahan nasional dengan tugas membatu presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan uupa maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi peraturan-peraturan penggunaan, pengguasaan, pendaftaran tanah, penggurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah kebijaksanaan yang ditetapkan presiden.

2. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional
Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah, terakhir dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi di daerah Propinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota di daerah Kabupaten/Kota. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/ Kota yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. Kantor Pertanahan dipimpin oleh seorang kepala yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil.

3.  Tugas Badan pertanahan Nasional
Sesuai dengan ketentuan Perturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,  ditentukan bahwa pendaftaran tanah di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, yaitu lembaga pemerintah non departemen yang bidang tugasnya meliputi bidang pertanahan. Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan  tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 atau Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah Kabupaten atau Kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.
Untuk melaksanakan ketentuan di atas, maka Kepala Badan Pertanahan berwenang untuk melakukan pendaftaran hak dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohonkan oleh seseorang atau suatu badan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sebagian wewenang pemberian hak atas tanah dilimpahkan kepada Kantor Badan Pertanahan Propinsi maupun Kantor Badan Pertanahan Kabupaten atau Kota, hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tanggal 19  Februari 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Negara yang mulai berlaku sejak tanggal 19 Februari 1999.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsinya sebagai:
1.   perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
2.   perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
3.   koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
4.   pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
5. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;
6.   pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
7.   pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
8. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;
9.  penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
10. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
11. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
12.penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
13. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
14.pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;
15. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
16. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;
17. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
18. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
19. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
20. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1999 tersebut, maka kewenangan pemberian hak atas tanah yang dilakukan secara individual dan secara kolektif, serta pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam peraturan ini meliputi pula kewenangan untuk menegaskan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah     adalah tanah negara.
Selain itu, tugas yang diemban oleh Badan Pertanahan Nasional adalah pembangunan di bidang pertanahan dalam terwujudnya Catur Tertib Pertanahan yang meliputi:
1.   Tertib Hukum Pertanahan
Menurut Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1979 ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan tertib hukum pertanahan adalah:
a.   Semua pihak yang menguasai dan atau menggunakan tanah mempunyai hubungan  hukum  yang  sah  dengan  tanah  yang  bersangkutan  menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.   Tersedianya perangkat perundang-undangan di bidang pertanahan yang lengkap dan komperhensip sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan pertanahan.
c. Seluruh penyelenggaraan administrasi pertanahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dewasa ini banyak sekali terjadi penguasaan pemilikan dan penggunaan  tanah oleh orang-orang/badan hukum yang melanggar ketentuan perundangan agraria yang berlaku, karenanya perlu diambil langkah-langkah:
a.   Mengadakan penyuluhan/penerangan kepada masyarakat mengenai tertib hukum pertanahan guna tercapainya kepastian kukum yang meliputi penertiban penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan peraturan perundangan Agraria yang berlaku.
      Dalam pengertian pelaksanaan tertib hukum pertanian sudah tercakup pelaksanaan tertib dokumentasi dan administrasi tanah.
b.   Mengenai sanksi hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
c.   Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanian
d.   Meningkatkan pengawasan intern di bidang pelaksanaan tugas keagrariaan.
e.  Mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang sengaja melakukan penyelewengan.
f.    Kebersamaan mengadakan interopeksi.
      Adanya usaha-usaha tersebut, maka akan terwujud adanya tertib hukum pertanahan yang menimbulkan kepastian hukum pertanahan dan hak-hak serta penggunaannya, yang kesemuannya itu akan menciptakan suasana ketentraman dalam masyarakat dan pengayoman masyarakat dari tindakan-tindakan semena-mena serta persengketaan-persengketaan, sehingga mendorong gairah kerja.

2.   Tertib Administrasi Pertanahan
      Dewasa ini, masih terasa adanya keluh kesah dari masyarakat, tentang hal berurusan dengan aparat pertanahan, khususnya dalam hal:
a.  Pelayanan urusan yang menyangkut tanah masih berbelit-belit dan biaya relatif mahal.
b. Masih terjadi adanya pungutan-pungutan tambahan.
      Sehingga dengan demikian yang disebut tertib administrasi pertanahan adalah merupakan keadaan dimana :
a.   Untuk setiap bidang telah tersedia mengenai aspek-aspek ukuran fisik, penguasaan penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya yang dikelola dalam sistem Informasi Pertanahan yang lengkap.
b. Terdapat mekanisme prosedur, tata kerja pelayanan di bidang pertanahan yang sederhana, cepat dan massal tetapi menjamin kepastian hukum yang dilaksanakan secara tertib dan konsisten.
c. Penyimpanan warkah-warkah yang berkaitan dengan pemberian hak dan pemanfaatan tanah dilaksanakan secara tertib, beraturan dan terjamin keamanaannya.

3.   Tertib Penggunaan Tanah
   Sampai sekarang masih banyak tanah-tanah yang belum diusahakan/ dipergunakan sesuai dengan kemampuan dan peruntukkannya, sehingga bertentangan dengan fungsi sosial dari tanah itu sendiri.
    Sehingga dengan demikian yang disebut tertib penggunaan tanah adalah merupakan keadaan dimana:
a.  Tanah telah digunakan secara lestari, serasi dan seimbang. Sesuai dengan potensi guna berbagai kegiatan kehidupan dan pengharapan diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional
b.  Penggunaan tanah di daerah perkotaan dapat menciptakan suasana aman, tertib, lancar dan sehat.
c.   Tidak terdapat pembentukan kepentingan antara sektor dalam peruntukkan tanah.

4.   Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup
      Dewasa ini, banyak sekali orang/badan-badan hukum yang mempunyai atau menguasai tanah yang tidak memperhatikan dan melakukan usaha-usaha untuk mencegah kerusakan-kerusakan dan kehilangan kesuburan tanah. Pada lain pihak, kepadatan penduduk yang melampaui batas tampung wilayah, telah mendorong untuk mempergunakan tanah tanpa mengindahkan batas kemampuan keadaan tanah dan faktor lingkungan hidup.
     Unsur-unsur yang berhubungan dengan azas-azas tataguna tanah dan keselamatan hidup sudah benar-benar ditinggalkan guna mengejar kebutuhan hidup yang mendesak dan bersifat sementara.
    Oleh  karena  itu, maka yang disebut tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup adalah merupakan keadaan dimana:
a.   Penanganan bidang pertanahan telah dapat menunjang kelestarian hidup.
b. Pemberian hak atas tanah dan pengarahan penggunaan telah dapat menunjang terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dan bernuansa lingkungan.
c. Semua pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah melaksanakan kewajiban sehubungan dengan pemeliharaan tanah  tersebut.
      Catur Tertib Pertanahan ini merupakan kebijakan bidang pertanahan yang dijadikan “landasan”, sekaligus “sasaran” untuk mengadakan penataan kembali penggunaan dan pemilikan tanah serta program-program khusus di bidang agraria untuk usaha meningkatkan kemampuan petani-petani yang tidak bertanah atau mempunyai tanah yang sangat sempit.
          Badan Pertanahan Nasional bertugas untuk mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan yang meliputi Pengaturan Penggunaan, Penguasaan, Pemilikan dan Pengelolaan Tanah (P4T), penguasaan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan, sehingga Badan Pertanahan Nasional sangat berperan aktif dalam mewujudkan penggunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan melaksanakan fungsinya di bidang pertanahan sebagai lembaga non Departemen pembantu Presiden.

B. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah oleh Kantor Pertanahan
Secara umum pendaftaran tanah merupakan kegiatan administrasi yang dilakukan oleh pemilik tanah terhadap hak atas tanahnya, baik dalam pemindahan  hak maupun dalam pemberian dan pengakuan hak baru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 telah dirumuskan mengenai pengertian  pendaftaran tanah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada Pejabat lain. Kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain, yaitu kegiatan-kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik dan pemetaan fotogametri.
Kegiatan pendaftaran tanah telah dilakukan oleh Pemerintah dengan sistem yang sudah melembaga sebagaimana yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran tanah selama ini, mulai dari permohonan seseorang atau badan, kemudian diproses sampai dikeluarkannya bukti haknya (sertipikat) dan pemeliharaan data pendaftarannya dalam buku tanah.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya pembuatan akta PPAT  Sementara, pembuatan akta ikrar wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh notaris, pembuatan Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang, dan adjudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik oleh Panitia Ajudikasi.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Subjek Hukum Dalam Perjanjian


Aturan mengenai subyek perjanjian terdapat dalam pasal 1315, 1317, 1318 dan pasal 1340 KUHPdt.
KUHPdt membedakan 3 golongan subyek perjanjian ( pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian ) yaitu :
- para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;
- para ahli waris dan mereka yang mendapat hak dari padanya;
- pihak ketiga.

Pasal 1315 KUHPdt : ”Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.”
Paal 1340 ayat 1 KUHPdt : ”Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Ketentuan-ketentuan di atas dikenal sebagai asas pribadi. Asas ini tidak bersifat mutlak, namun dapat dkecualikan atau bahkan pasal 1318 KUHPdt disebutkan bahwa : ”Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya.”
Jadi menurut penulis lebih tepat digunakan istilah asas pribadi generatif ( karena demi hukum segala hak dan kewajiban seseorang beralih kepada generasi ahli waris/penerima hak darinya ).
Asas pribadi generatif ini dapat disimpangi dengan memberikan manfaat kepada pihak ketiga, menjadikan pihak ketiga terikat dalam suatu perjanjian yang dibuat antara krediur dan debitur, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1317 KUHPdt : ” Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat janji yang seperti itu.”
Ini sering disebut sebagai janji pihak ketiga (beding ten behoeve van derden atau disingkat derden beding).
 Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.   Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
      Jika terdapat unsur paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun penyalahgunaan keadaan maka perjanjian dinyatakan tidak berlaku.
2.   Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
      Cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.
      Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang dinyatakan tidak cakap menurut hukum adalah :
a.   Orang-orang yang belum dewasa.
b.   Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c.   Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
      Namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 menyatakan bahwa perempuan yang bersuami tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin dari suaminya.
Selain itu, terdapat subjek hukum yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, diantaranya adalah:
a.   Orang-orang dewasa yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.
b.   Badan hukum yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.
c.  seseorang untuk waktu yang pendek maupun untuk waktu yang lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia tidak memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya.

3.   Mengenai suatu hal tertentu.
    Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai objek dalam perjanjian tersebut. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun suatu kepentingan yang melekat pada benda. Apa saja yang menjadi objek dari yang diperjanjikan harus disebut secara jelas.
4.   Suatu sebab yang halal.
      Mengenai  suatu  sebab  yang  halal  dalam  Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan/yang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Terhadap dua syarat sahnya perjanjian yang pertama, disebut sebagai syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan itu. 
Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan. Sedangkan apabila  salah  satu  syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.