Total Tayangan Halaman

Selasa, 09 Agustus 2011

Tinjauan Mengenai Tugas dan Kewenangan Badan Pertanahan Nasional

1. Sejarah Badan Pertanahan Nasional
            Badan pertanahan nasional adalah suatu lembaga non departemen ynag dibentuk pada tanggal 19 juli 1998 berdasarkan keputusan presiden Republik Indonesia nomor 26 tahun 1998. Badan ini merupakan peningkatan dari direktorat jenderal agraria departemen. Peningkatan status tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tanah sudah tidak lagi merupakan masalah agraria yang selama  ini lazimnya di identifikasikan sebagai pertanahan, namun tanah setelah    berkembang menjadi masalah lintas sektoral yang mempunyai dimensi pertahanan dan keamanan.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Tugas  yang demikian luas tersebut terlalu besar untuk ditangani suatu direktorat jenderal pada suatu departemen, oleh karena itu diperlukan suatu badan yang lebih tinggi dibawah presiden agar dapat melaksanakan tugasnya dengan otoritas seimbang.

62
 
Dibentuknya badan pertanahan nasional dengan tugas membatu presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan uupa maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi peraturan-peraturan penggunaan, pengguasaan, pendaftaran tanah, penggurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah kebijaksanaan yang ditetapkan presiden.

2. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional
Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah, terakhir dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi di daerah Propinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota di daerah Kabupaten/Kota. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/ Kota yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. Kantor Pertanahan dipimpin oleh seorang kepala yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil.

3.  Tugas Badan pertanahan Nasional
Sesuai dengan ketentuan Perturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,  ditentukan bahwa pendaftaran tanah di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, yaitu lembaga pemerintah non departemen yang bidang tugasnya meliputi bidang pertanahan. Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan  tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 atau Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah Kabupaten atau Kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.
Untuk melaksanakan ketentuan di atas, maka Kepala Badan Pertanahan berwenang untuk melakukan pendaftaran hak dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohonkan oleh seseorang atau suatu badan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sebagian wewenang pemberian hak atas tanah dilimpahkan kepada Kantor Badan Pertanahan Propinsi maupun Kantor Badan Pertanahan Kabupaten atau Kota, hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tanggal 19  Februari 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Negara yang mulai berlaku sejak tanggal 19 Februari 1999.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsinya sebagai:
1.   perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
2.   perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
3.   koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
4.   pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
5. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;
6.   pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
7.   pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
8. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;
9.  penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
10. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
11. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
12.penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
13. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
14.pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;
15. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
16. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;
17. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
18. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
19. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
20. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1999 tersebut, maka kewenangan pemberian hak atas tanah yang dilakukan secara individual dan secara kolektif, serta pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam peraturan ini meliputi pula kewenangan untuk menegaskan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah     adalah tanah negara.
Selain itu, tugas yang diemban oleh Badan Pertanahan Nasional adalah pembangunan di bidang pertanahan dalam terwujudnya Catur Tertib Pertanahan yang meliputi:
1.   Tertib Hukum Pertanahan
Menurut Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1979 ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan tertib hukum pertanahan adalah:
a.   Semua pihak yang menguasai dan atau menggunakan tanah mempunyai hubungan  hukum  yang  sah  dengan  tanah  yang  bersangkutan  menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.   Tersedianya perangkat perundang-undangan di bidang pertanahan yang lengkap dan komperhensip sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan pertanahan.
c. Seluruh penyelenggaraan administrasi pertanahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dewasa ini banyak sekali terjadi penguasaan pemilikan dan penggunaan  tanah oleh orang-orang/badan hukum yang melanggar ketentuan perundangan agraria yang berlaku, karenanya perlu diambil langkah-langkah:
a.   Mengadakan penyuluhan/penerangan kepada masyarakat mengenai tertib hukum pertanahan guna tercapainya kepastian kukum yang meliputi penertiban penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan peraturan perundangan Agraria yang berlaku.
      Dalam pengertian pelaksanaan tertib hukum pertanian sudah tercakup pelaksanaan tertib dokumentasi dan administrasi tanah.
b.   Mengenai sanksi hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
c.   Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanian
d.   Meningkatkan pengawasan intern di bidang pelaksanaan tugas keagrariaan.
e.  Mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang sengaja melakukan penyelewengan.
f.    Kebersamaan mengadakan interopeksi.
      Adanya usaha-usaha tersebut, maka akan terwujud adanya tertib hukum pertanahan yang menimbulkan kepastian hukum pertanahan dan hak-hak serta penggunaannya, yang kesemuannya itu akan menciptakan suasana ketentraman dalam masyarakat dan pengayoman masyarakat dari tindakan-tindakan semena-mena serta persengketaan-persengketaan, sehingga mendorong gairah kerja.

2.   Tertib Administrasi Pertanahan
      Dewasa ini, masih terasa adanya keluh kesah dari masyarakat, tentang hal berurusan dengan aparat pertanahan, khususnya dalam hal:
a.  Pelayanan urusan yang menyangkut tanah masih berbelit-belit dan biaya relatif mahal.
b. Masih terjadi adanya pungutan-pungutan tambahan.
      Sehingga dengan demikian yang disebut tertib administrasi pertanahan adalah merupakan keadaan dimana :
a.   Untuk setiap bidang telah tersedia mengenai aspek-aspek ukuran fisik, penguasaan penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya yang dikelola dalam sistem Informasi Pertanahan yang lengkap.
b. Terdapat mekanisme prosedur, tata kerja pelayanan di bidang pertanahan yang sederhana, cepat dan massal tetapi menjamin kepastian hukum yang dilaksanakan secara tertib dan konsisten.
c. Penyimpanan warkah-warkah yang berkaitan dengan pemberian hak dan pemanfaatan tanah dilaksanakan secara tertib, beraturan dan terjamin keamanaannya.

3.   Tertib Penggunaan Tanah
   Sampai sekarang masih banyak tanah-tanah yang belum diusahakan/ dipergunakan sesuai dengan kemampuan dan peruntukkannya, sehingga bertentangan dengan fungsi sosial dari tanah itu sendiri.
    Sehingga dengan demikian yang disebut tertib penggunaan tanah adalah merupakan keadaan dimana:
a.  Tanah telah digunakan secara lestari, serasi dan seimbang. Sesuai dengan potensi guna berbagai kegiatan kehidupan dan pengharapan diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional
b.  Penggunaan tanah di daerah perkotaan dapat menciptakan suasana aman, tertib, lancar dan sehat.
c.   Tidak terdapat pembentukan kepentingan antara sektor dalam peruntukkan tanah.

4.   Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup
      Dewasa ini, banyak sekali orang/badan-badan hukum yang mempunyai atau menguasai tanah yang tidak memperhatikan dan melakukan usaha-usaha untuk mencegah kerusakan-kerusakan dan kehilangan kesuburan tanah. Pada lain pihak, kepadatan penduduk yang melampaui batas tampung wilayah, telah mendorong untuk mempergunakan tanah tanpa mengindahkan batas kemampuan keadaan tanah dan faktor lingkungan hidup.
     Unsur-unsur yang berhubungan dengan azas-azas tataguna tanah dan keselamatan hidup sudah benar-benar ditinggalkan guna mengejar kebutuhan hidup yang mendesak dan bersifat sementara.
    Oleh  karena  itu, maka yang disebut tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup adalah merupakan keadaan dimana:
a.   Penanganan bidang pertanahan telah dapat menunjang kelestarian hidup.
b. Pemberian hak atas tanah dan pengarahan penggunaan telah dapat menunjang terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dan bernuansa lingkungan.
c. Semua pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah melaksanakan kewajiban sehubungan dengan pemeliharaan tanah  tersebut.
      Catur Tertib Pertanahan ini merupakan kebijakan bidang pertanahan yang dijadikan “landasan”, sekaligus “sasaran” untuk mengadakan penataan kembali penggunaan dan pemilikan tanah serta program-program khusus di bidang agraria untuk usaha meningkatkan kemampuan petani-petani yang tidak bertanah atau mempunyai tanah yang sangat sempit.
          Badan Pertanahan Nasional bertugas untuk mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan yang meliputi Pengaturan Penggunaan, Penguasaan, Pemilikan dan Pengelolaan Tanah (P4T), penguasaan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan, sehingga Badan Pertanahan Nasional sangat berperan aktif dalam mewujudkan penggunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan melaksanakan fungsinya di bidang pertanahan sebagai lembaga non Departemen pembantu Presiden.

B. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah oleh Kantor Pertanahan
Secara umum pendaftaran tanah merupakan kegiatan administrasi yang dilakukan oleh pemilik tanah terhadap hak atas tanahnya, baik dalam pemindahan  hak maupun dalam pemberian dan pengakuan hak baru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 telah dirumuskan mengenai pengertian  pendaftaran tanah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada Pejabat lain. Kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain, yaitu kegiatan-kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik dan pemetaan fotogametri.
Kegiatan pendaftaran tanah telah dilakukan oleh Pemerintah dengan sistem yang sudah melembaga sebagaimana yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran tanah selama ini, mulai dari permohonan seseorang atau badan, kemudian diproses sampai dikeluarkannya bukti haknya (sertipikat) dan pemeliharaan data pendaftarannya dalam buku tanah.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya pembuatan akta PPAT  Sementara, pembuatan akta ikrar wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh notaris, pembuatan Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang, dan adjudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik oleh Panitia Ajudikasi.

Sabtu, 06 Agustus 2011

Subjek Hukum Dalam Perjanjian


Aturan mengenai subyek perjanjian terdapat dalam pasal 1315, 1317, 1318 dan pasal 1340 KUHPdt.
KUHPdt membedakan 3 golongan subyek perjanjian ( pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian ) yaitu :
- para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;
- para ahli waris dan mereka yang mendapat hak dari padanya;
- pihak ketiga.

Pasal 1315 KUHPdt : ”Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.”
Paal 1340 ayat 1 KUHPdt : ”Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Ketentuan-ketentuan di atas dikenal sebagai asas pribadi. Asas ini tidak bersifat mutlak, namun dapat dkecualikan atau bahkan pasal 1318 KUHPdt disebutkan bahwa : ”Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya.”
Jadi menurut penulis lebih tepat digunakan istilah asas pribadi generatif ( karena demi hukum segala hak dan kewajiban seseorang beralih kepada generasi ahli waris/penerima hak darinya ).
Asas pribadi generatif ini dapat disimpangi dengan memberikan manfaat kepada pihak ketiga, menjadikan pihak ketiga terikat dalam suatu perjanjian yang dibuat antara krediur dan debitur, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1317 KUHPdt : ” Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat janji yang seperti itu.”
Ini sering disebut sebagai janji pihak ketiga (beding ten behoeve van derden atau disingkat derden beding).
 Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.   Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
      Jika terdapat unsur paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun penyalahgunaan keadaan maka perjanjian dinyatakan tidak berlaku.
2.   Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
      Cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.
      Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang dinyatakan tidak cakap menurut hukum adalah :
a.   Orang-orang yang belum dewasa.
b.   Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c.   Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
      Namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 menyatakan bahwa perempuan yang bersuami tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin dari suaminya.
Selain itu, terdapat subjek hukum yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, diantaranya adalah:
a.   Orang-orang dewasa yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.
b.   Badan hukum yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.
c.  seseorang untuk waktu yang pendek maupun untuk waktu yang lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia tidak memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya.

3.   Mengenai suatu hal tertentu.
    Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai objek dalam perjanjian tersebut. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun suatu kepentingan yang melekat pada benda. Apa saja yang menjadi objek dari yang diperjanjikan harus disebut secara jelas.
4.   Suatu sebab yang halal.
      Mengenai  suatu  sebab  yang  halal  dalam  Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan/yang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Terhadap dua syarat sahnya perjanjian yang pertama, disebut sebagai syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan itu. 
Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan. Sedangkan apabila  salah  satu  syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Jumat, 05 Agustus 2011

Peran PPAT Dalam Peralihan Hak Atas Tanah

A. Peralihan Hak Atas Tanah Melalui Jual Beli
Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain.
Sejak berlakunya UUPA, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.
Menurut Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, ditegaskan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pembuktian bahwa hak atas tanah tersebut dialihkan, maka harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yaitu akta jual beli yang kemudian akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 95 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah (pembeli tanah).

D.  Peranan PPAT Dalam Pendaftaran Tanah
Tanah sebagai benda penting bagi manusia, memegang peranan yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan manusia sebagai tempat bermukim maupun sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usaha. Kepemilikan hak atas tanah yang sangat penting untuk menjamin hak seseorang atau suatu badan atas tanah yang dimiliki atau dikuasainya.
Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, ada hal-hal yang merupakan pembaharuan hukum di Indonesia bukan saja di bidang pertanahan tetapi di lain-lain bidang hukum positip. UUPA diumumkan didalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, yang penjelasannya dimuat didalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2043.
Lahirnya UUPA maka dihapuskanlah dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum agraria kolonial yang sejak Indonesia merdeka masih tetap berlaku karena Indonesia belum mempunyai hukum agraria nasional, dan juga dualisme hak atas tanah dihapuskan menjadi satu sistem hukum, yaitu sistem hukum hak atas    tanah di Indonesia berdasarkan hukum adat, sehingga tidak lagi diadakan perbedaan atas tanah-tanah hak adat seperti tanah hak ulayat, gogolan, bengkok dan lain-lain, maupun tanah-tanah hak barat, seperti tanah hak Eigendom, Erfpachtt, Opstal dan lain-lain, dimana tanah hak barat tersebut harus dikonversi menjadi hak-hak bentuk baru yang diatur dalam UUPA. Diketahui tanah-tanah hak barat tersebut terdaftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrijvingsordonnantie (Ordonantie Balik Nama Stbl.1834 No.27) dan peraturan mengenai kadaster.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, kegiatan pendaftaran tanah menjadi sangat penting dan mutlak untuk dilaksanakan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA yang menghendaki diselenggarakannya pendaftaran hak atas tanah  di Indonesia. Pengaturan mengenai pendaftaran tanah diselenggarakan dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997. 
Dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaaan bidang tanah yang bersangkutan baik yang menyangkut data fisik maupun data yuridis tanah. Dalam pencatatan data yuridis ini khususnya pencatatan perubahan data yang sudah    tercatat sebelumnya maka peranan PPAT sangatlah penting.
PPAT sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta dalam peralihan hak atas tanah, akta pembebanan serta surat kuasa pembebanan hak tanggungan, juga bertugas membantu Kepala Kantor Pertanahan Nasional dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan atau bangunan yang akan dijadikan dasar bagi bukti pendaftaran tanah.
Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA.
Mengingat pentingnya fungsi PPAT perlu kiranya diadakan peraturan tersendiri yang mengatur tentang PPAT sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, demikian juga setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dikatakan PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun”.
Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka pada dasarnya kewenangan PPAT berkaitan erat dengan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan haruslah dibuat akta otentik. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah dan bangunan belum sah.
Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah.
Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut peraturan yang telah disempurnakan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran jual beli hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai alat bukti yang sah. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum.
Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk melayani permohonan-permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran  tanah serta peraturan Jabatan PPAT. Dalam menghadapi permohonan-permohonan tersebut PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan. 
PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan.
Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan, setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertahankan haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan memperoleh hak tersebut.
Adanya akta PPAT yang bermaksud membuat akta perjanjian pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan jika akta peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku  tanah, maka kepala Kantor Pertanahan memberikan sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan kepada pembeli.

E. Pelaksanaan Pembuatan Akta Jual Beli oleh Pejabat Pembuat Tanah
Keberadaan pejabat dalam suatu tatanan ketatanegaraan sangat dibutuhkan, karena pejabat merupakan pengejawantahan dari personifikasi Negara. Negara dalam suatu konsep ketatanegaraan dalam menjalankan fungsinya diwakili oleh Pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan fungsinya dan tugasnya dalam merealisasikan tujuan Negara diwakili oleh pejabat. Oleh karena itu, sukses tidaknya sebuah  lembaga negara ditentukan oleh kemampuan pejabatnya dalam menjalankan roda Pemerintahan. Salah satu tugas pejabat, khususnya PPAT, keberadaannya diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Pemerintah Nomor 37  Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini merupakan konsekuensi ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, amandemen ke tiga 3, yang menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.
Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Perbuatan hukum yang dilakukan dihadapan PPAT maka akan lahir akta otentik yang akan dijadikan sebagai alat bukti bagi para pihak telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum dimaksud.
Selain dibuat dihadapan pejabat umum, untuk dapat memperoleh otentisitasnya maka akta yang bersangkutan harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang dan pejabat umum dihadapan siapa   akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu, ditempat dimana akta itu dibuatnya.
Pembuatan akta PPAT menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, ditegaskan bahwa: “ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 96 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan bahwa akta PPAT harus mempergunakan formulir atau blanko sesuai dengan bentuk yang telah disediakan dan cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 sampai dengan 23 peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut.
Mengenai syarat bahwa akta itu harus dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta, ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan: “PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”.
Pada saat penandatanganan akta jual beli dilakukan, terlebih dahulu blanko akta jual beli tersebut diisi dengan nama PPAT berikut dengan saksi-saksi dari PPAT yang daerah kerjanya meliputi daerah di mana obyek hak atas tanah tersebut berada,  serta telah nama para pihak, objek jual belinya berdasarkan dokumen-dokumen dan data-data yang telah disampaikan oleh para pihak. Akta tersebut kemudian oleh PPAT dibacakan kepada para pihak dan selanjutnya setelah para pihak telah  mengerti akan isi dalam akta jual beli tersebut, maka para pihak menandatangani  akte jual beli tersebut, kemudian oleh saksi-saksi dan PPAT.
Dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT, dibutuhkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh PPAT sebelum dilakukan penandatanganan akta jual belinya oleh para pihak yang berkepentingan. Langkah-langkah tersebut adalah:
1.   Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli.
2.   Akta harus mempergunakan formulir yang telah ditentukan.
3.   Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat.
4.   Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan:
a.  bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum   penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b.  bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi       pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c.   bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana        dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;
d.  Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat   hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar.
5.   Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6.  Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
7. PPAT  wajib  membacakan  akta  kepada  para  pihak  yang  bersangkutan  dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.
8.   Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
9. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka “PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagai mana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan”.
       sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 91 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, secara tegas menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”.
Konsekuensi yang akan diterima oleh PPAT, terhadap pelanggaran sebagaimana yang ditentukan dalam  Pasal 91 ayat (1) akan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
 Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PPAT harus menolak untuk membuat akta apabila:
1.   mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
2.   mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
a.   surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b.  surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
c. salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau
d.  salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau
e. untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
f.    obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g.  tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

Selanjutnya dalam penjelasan pada Pasal 39 ayat 1 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menyebutkan contoh syarat yang dimaksudkan dalam huruf g adalah misalnya larangan yang diadakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan untuk membuat akta, jika kepadanya tidak diserahkan fotocopy surat setoran pajak penghasilan yang bersangkutan.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam menjalankan tugasnya jabatannya sebagai pembuat akta dibidang pertanahan, PPAT harus memiliki kecermatan dan ketelitian dalam memeriksa kelengkapan berkas-berkas dalam pembuatan akta jual beli. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh PPAT yaitu:
1.  Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari identitas para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak.
2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena jika jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara)
3.  Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani.
4.  Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). 
5.  Tanah yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang bersangkutan.

KOMENTAR SINGKAT TENTANG HAK TANGGUNGAN



A.   PENGERTIAN HAK TANGGUNGAN

Undang-undang Hak Tanggungan (selanjutnya disebut UUHT) yang diundangkan pada tanggal 9 April 1996 melalui Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 42, merupakan suatu kemajuan dalam pembangunan Hukum Agraria di Indonesia. Dengan berlakunya Undang-undang tersebut maka sejak saat itu segala hal yang berkaitan dengan hak tanggungan atas tanah dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996. Hal ini berarti pula  perintah Pasal 51 UUPA yang memerintahkan untuk pembuatan Undang-undang Hak Tanggungan telah terlaksana dengan adanya undang-undang ini.

Sebelum berlaku UUHT Nomor 4 tahun 1996, yang dikenal hak hepotik yang dibebankan pada hak-hak tanah yang diatur dalam pasal 1162 s/d pasal 1232 KUHPerdata dan pasal 224 HIR atau pasal 258 RBG dan untuk Creditverbank diatur dalam Stb. 1908 nomor 452 kemudian drubah dengan Stb. 1937 nomor 190. Tetapi berdasarkan pasal 29 UUHT, ketentuan tersebut tidak berlaku lagi, kecuali untuk jemainan benda-benda yang tidak bergerak seperti kapal laut masih tetap berlaku sebagian dari peraturan tersebut.

Adapun pengertian hak tanggungan yang dimaksud dalam Pasal 1 UUHT Nomor 4 Tahun 1996, adalah :
“Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain”.

Ada beberapa unsur pokok dari Hak Tanggungan yang termuat di dalam definisi Hak Tanggungan tersebut di atas, yaitu :
1.  Hak Tanggungan adalah hak jaminan untuk pelunasan utang.
2.  Objek Hak Tanggungan adalah hak atas tanah sesuai UUPA.
3.  Hak Tanggungan tidak hanya dapat dibebankan atas tanahnya (hak atas tanah) saja, tetapi dapat pula dibebankan berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu.
4.  Utang yang dijamin harus suatu utang yang tertentu.
5.  Memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tak lepas dari kebutuhan yang bermacam-macam. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut manusia harus berusaha dengan cara bekerja. Bekerja dapat dilakukan sendiri tanpa harus bekerja pada orang lain, misalnya dengan berwiraswasta. Untuk berwiraswasta dibutuhkan modal kerja. Untuk mendapatkan modal kerja tersebut ada berbagai cara yang dapat ditempuh, diantaranya adalah dengan meminjam kepada pihak lain (Kreditur). Istilah antara Kreditur dan  Debitur yang mengadakan Perjanjian Pinjam-Meminjam, biasanya terdiri dari:
a.   Perjanjian Hutang Piutang (sebagai perjanjian pokok); yang dilengkapi
b. Dengan  Perjanjian  (assesoir)  dengan perjanjian pemberian jaminan hutang, biasanya berbentuk SKMHT (Surat Kuasa Memasang Hak Tanggungan).

Biasanya untuk meminjam kepada pihak lain, pihak yang meminjamkan menginginkan adanya jaminan yang dapat berupa benda bergerak maupun benda tetap. Salah satu benda tetap yang sering dijadikan objek jaminan utang adalah tanah. Dalam perkembangan terbaru, dengan keluarnya Undang-undang Hak Tanggungan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-benda yang Berkaitan dengan Tanah, maka semua benda yang berkaitan dengan jaminan utang atas tanah diatur dalam Undang-undang ini.

Hak tanggungan merupakan suatu istilah baru untuk lembaga jaminan maupun pelaksanaan dari ketentuan undang-undang tentang adanya pranata jaminan hutang dengan tanah sebagai agunannya yang disebut Hak Tanggungan (harus dibedakan dengan istilah Pertanggungan untuk kegiatan asuransi).

Dalam hal ini setiap perjanjian yang bermaksud untuk memindahkan hak atas tanah, memberikan sesuatu hak baru atas tanah, atau meminjam uang dengan jaminan hak tanggungan harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri Agraria. Akta tersebut bentuknya telah ditentukan oleh Menteri Agraria. Dari pernyataan ini dapat diketahui bahwa Hak Tanggungan juga merupakan salah satu hak atas tanah yang wajib didaftarkan.
 

B.   OBYEK HAK TANGGUNGAN

Berdasarkan bunyi Pasal 4 UUHT, Hak-hak atas tanah yang dapat diletakkan hak Tanggungan diatasnya adalah:

(1) Hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah:
      a. Hak Milik;
      b. Hak Guna Usaha;
      c. Hak Guna Bangunan.
(2) Selain hak-hak atas tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga di-bebani Hak Tanggungan.
(3) Pembebanan Hak Tanggungan pada Hak Pakai atas tanah Hak Milik akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Hak Tanggungan dapat juga dibebankan pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman, dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah yang pembebanannya dengan tegas dinyatakan di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan.
(5) Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana dimaksud pada ayat (4) tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dapat dilakukan dengan penandatanganan serta pada Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa untuk itu olehnya dengan akta otentik.

Sedangkan bunyi Pasal 5, menjelaskan bagaimana objek hak tanggungan yang dapat dibebani lebih dari satu kali pendaftarannya:

(1) Suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang.
(2) Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
(3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan



C.   PENDAFTARAN HAK TANGGUNGAN

Untuk pendaftaran hak tanggungan pada Kantor Pertanahan dimana objek atas tanah tersebut berada diperlukan dokumen-dokumen, antara lain:

  1. surat pengantar dari PPAT
  2. surat permohonan pendaftaran
  3. identitas pemberi dan pemegang Hak Tanggungan
  4. sertipikat asli hak atas tanah
  5. lembar ke-2 Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT)
  6. salinan APHT (untuk lampiran sertipikat Hak Tanggungan) 
  7. Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) apabila dilakukan melalui kuasa.

Hak Tanggungan dapat beralih atau dialihkan: karena adanya cessie, subrogasi, pewarisan, atau penggabungan serta peleburan perseroan.

Dokumen-dokumen yang diperlukan untuk pendaftaran peralihan Hak Tanggungan, antara lain:

  1. sertipikat asli Hak Tanggungan,
  2. akta cessie atau akta otentik yang menyatakan adanya cessie, atau
  3. akta subrogasi atau akta otentik yang menyatakan adanya subrogasi, atau
  4. bukti pewarisan, atau
  5. bukti penggabungan atau peleburan perseroan,
  6. identitas pemohon


d.   Hak Tanggungan bersifat individualiteit:

            Yang dimaksud dengan Indiviudaliteit adalah bahwa yang dapat dimiliki sebagai kebendaan adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat ditentukan terpisah (individualiteit bepaald). Di dalam ketentuan Pasal 5 UUHT Nomor 4 Tahun 1996 menentukan sebagai berikut:

(1) Suatu obyek Hak Tanggungan dapat dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan guna menjamin pelunasan lebih dari satu utang.
(2) Apabila suatu obyek Hak Tanggungan dibebani dengan lebih dari satu Hak Tanggungan, peringkat masing-masing Hak Tanggungan ditentukan menurut tanggal pendaftarannya pada Kantor Pertanahan.
(3) Peringkat Hak Tanggungan yang didaftar pada tanggal yang sama ditentukan menurut tanggal pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan
           
Dengan demikian dapat diketahui bahwa meskipun atas sebidang tanah tertentu yang telah ditentukan dapat diletakkan lebih dari satu Hak Tanggungan, namun masing-masing Hak Tanggungan tersebut adalah berdiri sendiri, terlepas dari yang lainnya. Eksekusi atau Hapusnya Hak Tanggungan yang tidak membawa pengaruh terhadap Hak Tanggungan lainnya yang dibebankan di atas hak atas tanah yang dijaminkan dengan Hak Tanggungan tersebut.

E.   Hapusnya Hak Tanggungan  (Roya).

            Hapusnya Hak Tanggungan di atur dalam Pasal 18 UUHT Nomor 4 Tahun 1996, yang mengatur sebagai berikut:
(1) Hak Tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
a. hapusnya utang yang dijamin dengan Hak Tanggungan;
b. dilepaskannya Hak Tanggungan oleh pemegang Hak Tanggungan;
c. pembersihan Hak Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri;
d. hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.
(2) Hapusnya Hak Tanggungan karena dilepaskan oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya Hak Tanggungan tersebut oleh pemegang Hak Tanggungan kepada pemberi Hak Tanggungan.
(3) Hapusnya  Hak  Tanggungan  karena  pembersihan  Hak  Tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19.
(4) Hapusnya Hak Tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibeban Hak Tanggungan tidak menyebabkan hapusnya utang yang dijamin.

Sedangkan persyaratan untuk hapusnya hak tanggungan (roya) adalah:
1.      Surat Permohonan dari pemegang hak atau kuasanya.
2.      Identitas diri pemegang hak dan atau kuasanya (fotocopy KTP yang dilegalisir oleh Pejabat yang berwenang).
3.      Sertipikat Hak Atas Tanah.
4.      Sertipikat Hak Tanggungan.
5.      Concent Roya, apabila tidak diserahkan sertipikat Hak Tanggungan.
6.      Surat Keterangan tentang hapusnya HT yang dibuktikan dengan:
a.      Pernyataan dari kreditor bahwa hutangnya telah lunas, atau
b.      Risalah lelang, atau
c.      Pembersihan HT berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan, atau Hapusnya hak atas tanah yang dibebani Hak Tanggungan.



D.   EKSEKUSI HAK TANGGUNGAN

Adanya kewajiban untuk mendaftarkan Hak Tanggungan ditujukan untuk menjamin kepastian hukum kepada pemberi dan penerima Hak Tanggungan dan untuk memberikan perlindungan hukum manakala salah satu pihak mengadakan tindakan-tindakan yang merugikan pihak lainnya. Sebagai contoh ketika pemberi Hak Tanggungan tidak dapat melunasi hutang yang dipinjamnya dari pemegang hak tanggungan, maka dengan adanya pendaftaran Hak Tanggungan, pemegang hak tanggungan mempunyai kekuatan hukum yang kuat untuk mendapatkan pelunasan atas piutangnya dengan cara mengeksekusi tanah yang dibebani Hak Tanggungan, hal ini sesuai dengan bunyi Pasal 6 UUHT Nomor 4 Tahun 1996: “Apabila debitor cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

Sedangkan yang dimaksud dengan pelunasan diutamakan pada kreditur tertentu, artinya kreditur tersebut mempunyai hak istimewa yang diberikan oleh Undang-undang terhadap jaminan yang dipegang kereditur tersebut. Artinya bilamana hasil penjualan jaminan tersebut diutamakan untuk pelunasan kreditur yang mempunyai hak istimewa, kemudian bila masih ada sisanya dibayarkan pada kreditur-kreditur yang lain atau berdasarkan presentase hutangnya.

Apabila terjadi wanprestasi (debitur gagal memenuhi kewajiban membayar kepada kreditur), maka kreditur dalam hal ini diperkenankan untuk:
a.    Mengajukan  Permohonan   Eksekusi   Hak   Tanggungan  berdasarkan Sertifikat Hak Tanggungan ini, melalui Pengadilan Negeri yang berwenang (jadi tidak perlu menempuh gugatan wanprestasi), yang dari permohonan ini Ketua Pengadilan Negeri akan mengeluarkan Penetapan Aanmaning (Teguran), agar debitur dalam jangka-waktu “tertentu” harus melunasi hutangnya seketika kepada kreditur;
b.    Apabila berdasarkan Aanmaning ini debitur tetap lalai untuk melunasi kewajiban pembayarannya, maka Kreditur diperkenankan untuk mengajukan Permohonan Sita Eksekusi, dimana setelah sita eksekusi ini selesai diletakkan oleh Pengadilan, maka selanjutnya
c.    Kreditur akan mengajukan Permohonan Lelang kepada Pengadilan Negeri berwenang, agar bersedia menjual objek jaminan hutang yang telah dibebankan hak tanggungan tadi, melalui upaya lelang (yang dilakukan bekerjasama dengan Kantor Lelang Negara setempat).

Dalam hal Pelelangan ini, perlu diperhatikan bahwa penjualan melalui lelang adalah untuk pelunasan hutang sehingga apabila terdapat kelebihan dari hasil penjualan terhadap total hutang, maka kelebihan ini dikembalikan kepada debitur; atau  dilakukan penjualan dibawah tangan dengan persyaratan :
a.   Penjualan ini dilakukan berdasarkan persetujuan antara debitur dan kreditur;
b.   Jika dengan cara penjualan di bawah tangan ini dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak;
c.   Dilaksanakan 1 (satu) bulan setelah kreditur/debitur mengumumkan pihak-pihak yang berkepentingan sedikitnya melalui 2 (dua) surat kabar dan atau media masa setempat, serta tidak ada pihak yang menyatakan keberatan (bantahan).
Jadi pada metode ini tidak memerlukan permohonan sita jaminan terlebih dahulu kepada PN setempat (conservatoir beslag), namun dalam tahap penjualan tetap dilaksanakan melalui lelang dan dengan bantuan Kantor Lelang Setempat (parate executie karena sudah ada klausula kuasa untuk menjual sendiri di dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan), selain karena dalam Sertifikat Hak Tanggungan yang dikeluarkan kantor pertanahan, sudah dicantumkan irah-irah "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", sehingga Sertifikat Hak Tanggungan tersebut sudah memiliki kekuatan eksekutorial seperti suatu putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap.



E.   PENUTUP

Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa adanya pendaftaran hak tanggungan sangat penting bagi pemegang hak tanggungan (pihak yang memberikan pinjaman dengan jaminan tanah) karena dengan didaftarkannya hak tanggungan tersebut kedudukannya menjadi kuat secara hukum. Dengan demikian pihak yang paling berkepentingan atas pendaftaran hak tanggungan adalah pihak pemegang hak tanggungan.