Peralihan hak atas tanah adalah perbuatan hukum pemindahan hak atas tanah yang dilakukan dengan sengaja supaya hak tersebut terlepas dari pemegangnya semula dan menjadi hak pihak lain.
Sejak berlakunya UUPA, peralihan hak atas tanah dapat dilakukan melalui jual beli, penukaran, penghibahan, pemberian dengan wasiat, pemberian menurut adat dan perbuatan-perbuatan lain yang dimaksudkan untuk memindahkan hak milik.
Menurut Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997, ditegaskan bahwa:
Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan data perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pembuktian bahwa hak atas tanah tersebut dialihkan, maka harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh dan dihadapan PPAT yaitu akta jual beli yang kemudian akan dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 95 ayat 1 huruf a Peraturan Menteri Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997. Akta Jual Beli yang dibuat dihadapan PPAT tersebut bertujuan untuk memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah (pembeli tanah).
D. Peranan PPAT Dalam Pendaftaran Tanah
Tanah sebagai benda penting bagi manusia, memegang peranan yang sangat penting bagi pemenuhan kebutuhan manusia sebagai tempat bermukim maupun sebagai tempat untuk melakukan kegiatan usaha. Kepemilikan hak atas tanah yang sangat penting untuk menjamin hak seseorang atau suatu badan atas tanah yang dimiliki atau dikuasainya.
Sejak berlakunya UUPA pada tanggal 24 September 1960, ada hal-hal yang merupakan pembaharuan hukum di Indonesia bukan saja di bidang pertanahan tetapi di lain-lain bidang hukum positip. UUPA diumumkan didalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104, yang penjelasannya dimuat didalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia nomor 2043.
Lahirnya UUPA maka dihapuskanlah dasar-dasar dan peraturan-peraturan hukum agraria kolonial yang sejak Indonesia merdeka masih tetap berlaku karena Indonesia belum mempunyai hukum agraria nasional, dan juga dualisme hak atas tanah dihapuskan menjadi satu sistem hukum, yaitu sistem hukum hak atas tanah di Indonesia berdasarkan hukum adat, sehingga tidak lagi diadakan perbedaan atas tanah-tanah hak adat seperti tanah hak ulayat, gogolan, bengkok dan lain-lain, maupun tanah-tanah hak barat, seperti tanah hak Eigendom, Erfpachtt, Opstal dan lain-lain, dimana tanah hak barat tersebut harus dikonversi menjadi hak-hak bentuk baru yang diatur dalam UUPA. Diketahui tanah-tanah hak barat tersebut terdaftar pada Kantor Pendaftaran Tanah menurut Overschrijvingsordonnantie (Ordonantie Balik Nama Stbl.1834 No.27) dan peraturan mengenai kadaster.
Untuk merealisasikan tujuan tersebut, kegiatan pendaftaran tanah menjadi sangat penting dan mutlak untuk dilaksanakan, hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA yang menghendaki diselenggarakannya pendaftaran hak atas tanah di Indonesia. Pengaturan mengenai pendaftaran tanah diselenggarakan dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997.
Dalam pelaksanaan administrasi pertanahan, data pendaftaran tanah yang tercatat di Kantor Pertanahan harus sesuai dengan keadaaan bidang tanah yang bersangkutan baik yang menyangkut data fisik maupun data yuridis tanah. Dalam pencatatan data yuridis ini khususnya pencatatan perubahan data yang sudah tercatat sebelumnya maka peranan PPAT sangatlah penting.
PPAT sebagai pejabat umum yang diberi wewenang untuk membuat akta-akta dalam peralihan hak atas tanah, akta pembebanan serta surat kuasa pembebanan hak tanggungan, juga bertugas membantu Kepala Kantor Pertanahan Nasional dalam melaksanakan pendaftaran tanah dengan membuat akta-akta tertentu sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah dan atau bangunan yang akan dijadikan dasar bagi bukti pendaftaran tanah.
Akta PPAT merupakan salah satu sumber utama dalam rangka pemeliharaan pendaftaran tanah di Indonesia. PPAT sudah dikenal sejak berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah, yang merupakan peraturan tanah sebagai pelaksana UUPA.
Mengingat pentingnya fungsi PPAT perlu kiranya diadakan peraturan tersendiri yang mengatur tentang PPAT sebagaimana yang ditetapkan dalam Pasal 7 ayat 3 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, demikian juga setelah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 dikatakan PPAT adalah “pejabat umum yang diberi kewenangan untuk membuat akta-akta otentik mengenai perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak atas satuan rumah susun”.
Berdasarkan pasal tersebut diatas, maka pada dasarnya kewenangan PPAT berkaitan erat dengan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun. Untuk membuktikan adanya perbuatan hukum pengalihan hak atas tanah dan atau bangunan haruslah dibuat akta otentik. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perbuatan hukum untuk mengalihkan suatu hak atas tanah dan bangunan belum sah.
Mengenai fungsi akta PPAT dalam jual beli, Mahkamah Agung dalam Putusannya No. 1363/K/Sip/1997 berpendapat bahwa Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 secara jelas menentukan bahwa akta PPAT hanyalah suatu alat bukti dan tidak menyebut bahwa akta itu adalah syarat mutlak tentang sah tidaknya suatu jual beli tanah.
Menurut Boedi Harsono, akta PPAT berfungsi sebagai alat pembuktian mengenai benar sudah dilakukannya jual beli. Jual beli tersebut masih dapat dibuktikan dengan alat pembuktian yang lain. Akan tetapi, dalam sistem pendaftaran tanah menurut peraturan yang telah disempurnakan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, pendaftaran jual beli hanya dapat dilakukan dengan akta PPAT sebagai alat bukti yang sah. Orang yang melakukan jual beli tanpa dibuktikan dengan akta PPAT tidak akan dapat memperoleh sertifikat, biarpun jual belinya sah menurut hukum.
Dalam memberi pelayanan kepada masyarakat seorang PPAT bertugas untuk melayani permohonan-permohonan untuk membuat akta-akta tanah tertentu yang disebut dalam peraturan-peraturan berkenaan dengan pendaftaran tanah serta peraturan Jabatan PPAT. Dalam menghadapi permohonan-permohonan tersebut PPAT wajib mengambil keputusan untuk menolak atau mengabulkan permohonan yang bersangkutan.
PPAT sebagai pejabat umum, maka akta yang dibuatnya diberi kedudukan sebagai akta otentik, yaitu akta yang dibuat untuk membuktikan adanya perbuatan hukum tertentu yang mengakibatkan terjadinya peralihan hak atas tanah dan bangunan.
Berkaitan dengan kepastian pemilikan hak atas tanah dan bangunan, setiap perolehan hak yang terjadi dari suatu perbuatan hukum harus dibuat dengan akta otentik. Hal ini penting untuk memberi kepastian hukum bagi pihak yang memperoleh hak tersebut sehingga ia dapat mempertahankan haknya tersebut dari gugatan pihak manapun. Tanpa adanya akta otentik maka secara hukum perolehan hak tersebut belum diakui dan sebenarnya hak atas tanah dan bangunan masih ada pada pihak yang mengalihkan hak tersebut. Untuk melindungi pihak yang memperoleh hak, maka akta otentik yang dibuat pada saat perolehan hak dilakukan merupakan alat pembuktian yang kuat yang menyatakan adanya perbuatan hukum peralihan hak atas tanah dan bangunan yang dimaksud kepada pihak yang dinyatakan memperoleh hak tersebut.
Adanya akta PPAT yang bermaksud membuat akta perjanjian pengalihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, penukaran, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang yang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang dan jika akta peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun tersebut sudah didaftarkan oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam daftar buku tanah, maka kepala Kantor Pertanahan memberikan sertipikat hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang bersangkutan kepada pembeli.
E. Pelaksanaan Pembuatan Akta Jual Beli oleh Pejabat Pembuat Tanah
Keberadaan pejabat dalam suatu tatanan ketatanegaraan sangat dibutuhkan, karena pejabat merupakan pengejawantahan dari personifikasi Negara. Negara dalam suatu konsep ketatanegaraan dalam menjalankan fungsinya diwakili oleh Pemerintah. Pemerintah dalam menjalankan fungsinya dan tugasnya dalam merealisasikan tujuan Negara diwakili oleh pejabat. Oleh karena itu, sukses tidaknya sebuah lembaga negara ditentukan oleh kemampuan pejabatnya dalam menjalankan roda Pemerintahan. Salah satu tugas pejabat, khususnya PPAT, keberadaannya diakui oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah jo Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Hal ini merupakan konsekuensi ketentuan Pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Dasar 1945, amandemen ke tiga 3, yang menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara hukum.
Prinsip Negara hukum menjamin kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum yang berintikan kebenaran dan keadilan. Kepastian, ketertiban, dan perlindungan hukum menuntut bahwa lalu lintas hukum dalam kehidupan masyarakat memerlukan adanya alat bukti yang menentukan dengan jelas hak dan kewajiban seseorang sebagai subjek hukum dalam masyarakat.
Perbuatan hukum yang dilakukan dihadapan PPAT maka akan lahir akta otentik yang akan dijadikan sebagai alat bukti bagi para pihak telah dilakukan perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun, yang akan dijadikan sebagai dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum dimaksud.
Selain dibuat dihadapan pejabat umum, untuk dapat memperoleh otentisitasnya maka akta yang bersangkutan harus dibuat dalam bentuk yang ditentukan oleh peraturan perundang-undang dan pejabat umum dihadapan siapa akta itu dibuat harus mempunyai wewenang untuk membuat akta itu, ditempat dimana akta itu dibuatnya.
Pembuatan akta PPAT menurut Pasal 24 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998, ditegaskan bahwa: “ketentuan-ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembuatan akta PPAT diatur dalam peraturan perundang-undangan mengenai pendaftaran tanah”. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 96 Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997, disebutkan bahwa akta PPAT harus mempergunakan formulir atau blanko sesuai dengan bentuk yang telah disediakan dan cara pengisiannya adalah sebagaimana tercantum dalam lampiran 16 sampai dengan 23 peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional tersebut.
Mengenai syarat bahwa akta itu harus dibuat oleh pejabat umum yang mempunyai kewenangan untuk membuat akta, ditegaskan dalam Pasal 4 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 yang menyatakan: “PPAT hanya berwenang membuat akta mengenai hak atas tanah atau hak milik atas satuan rumah susun yang terletak di dalam daerah kerjanya”.
Pada saat penandatanganan akta jual beli dilakukan, terlebih dahulu blanko akta jual beli tersebut diisi dengan nama PPAT berikut dengan saksi-saksi dari PPAT yang daerah kerjanya meliputi daerah di mana obyek hak atas tanah tersebut berada, serta telah nama para pihak, objek jual belinya berdasarkan dokumen-dokumen dan data-data yang telah disampaikan oleh para pihak. Akta tersebut kemudian oleh PPAT dibacakan kepada para pihak dan selanjutnya setelah para pihak telah mengerti akan isi dalam akta jual beli tersebut, maka para pihak menandatangani akte jual beli tersebut, kemudian oleh saksi-saksi dan PPAT.
Dalam proses pembuatan akta jual beli yang dibuat dihadapan PPAT, dibutuhkan langkah-langkah yang harus dilalui oleh PPAT sebelum dilakukan penandatanganan akta jual belinya oleh para pihak yang berkepentingan. Langkah-langkah tersebut adalah:
1. Sebelum melaksanakan pembuatan akta mengenai pemindahan atau pembebanan hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun, PPAT wajib terlebih dahulu melakukan pemeriksaan pada Kantor Pertanahan mengenai kesesuaian sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang bersangkutan dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan setempat dengan memperlihatkan sertipikat asli.
3. Dalam hal diperlukan izin untuk peralihan hak tersebut, maka izin tersebut harus sudah diperoleh sebelum akta dibuat.
4. Sebelum dibuat akta mengenai pemindahan hak atas tanah, calon penerima hak harus membuat pernyataan yang menyatakan:
a. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah yang melebihi ketentuan maksimum penguasaan tanah menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b. bahwa yang bersangkutan dengan pemindahan hak tersebut tidak menjadi pemegang hak atas tanah absentee (guntai) menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
c. bahwa yang bersangkutan menyadari bahwa apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tersebut tidak benar maka tanah kelebihan atau tanah absentee tersebut menjadi obyek landreform;
d. Bahwa yang bersangkutan bersedia menanggung semua akibat hukumnya, apabila pernyataan sebagaimana dimaksud pada a dan b tidak benar.
5. Pembuatan akta PPAT harus dihadiri oleh para pihak yang melakukan perbuatan hukum atau orang yang dikuasakan olehnya dengan surat kuasa tertulis sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6. Pembuatan akta PPAT harus disaksikan oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku memenuhi syarat untuk bertindak sebagai saksi dalam suatu perbuatan hukum, yang memberi kesaksian antara lain mengenai kehadiran para pihak atau kuasanya, keberadaan dokumen-dokumen yang ditunjukkan dalam pembuatan akta, dan telah dilaksanakannya perbuatan hukum tersebut oleh para pihak yang bersangkutan.
7. PPAT wajib membacakan akta kepada para pihak yang bersangkutan dan memberi penjelasan mengenai isi dan maksud pembuatan akta, dan prosedur pendaftaran yang harus dilaksanakan selanjutnya sesuai ketentuan yang berlaku.
8. Akta PPAT harus dibacakan/dijelaskan isinya kepada para pihak dengan dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi sebelum ditandatangani seketika itu juga oleh para pihak, saksi-saksi dan PPAT.
9. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal ditandatanganinya akta yang bersangkutan, PPAT wajib menyampaikan akta yang dibuatkannya berikut dokumen-dokumen yang bersangkutan kepada Kantor Pertanahan untuk didaftar.
Terhadap perbuatan hukum pengalihan hak tersebut, maka “PPAT wajib menyampaikan pemberitahuan tertulis mengenai telah disampaikannya akta sebagai mana dimaksud di atas kepada para pihak yang bersangkutan”.
sebelum dilakukannya penandatanganan akta jual beli, PPAT harus terlebih dahulu meminta bukti pembayaran pajak, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 91 ayat 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, secara tegas menyatakan: “Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris hanya dapat menandatangani akta pemindahan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan setelah Wajib Pajak menyerahkan bukti pembayaran pajak”.
Konsekuensi yang akan diterima oleh PPAT, terhadap pelanggaran sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 91 ayat (1) akan dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar Rp.7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah) untuk setiap pelanggaran.
Selain itu, berdasarkan ketentuan dalam Pasal 39 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, PPAT harus menolak untuk membuat akta apabila:
1. mengenai bidang tanah yang sudah terdaftar atau hak milik atas satuan rumah susun, kepadanya tidak disampaikan sertipikat asli hak yang bersangkutan atau sertipikat yang diserahkan tidak sesuai dengan daftar-daftar yang ada di Kantor Pertanahan.
2. mengenai bidang tanah yang belum terdaftar, kepadanya tidak disampaikan:
a. surat bukti sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1) atau surat keterangan Kepala Desa/Kelurahan yang menyatakan bahwa yang bersangkutan menguasai bidang tanah tersebut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (2); dan
b. surat keterangan yang menyatakan bahwa bidang tanah yang bersangkutan belum bersertipikat dari Kantor Pertanahan, atau untuk tanah yang terletak di daerah yang jauh dari kedudukan Kantor Pertanahan, dari pemegang hak yang bersangkutan dengan dikuatkan oleh Kepala Desa/Kelurahan.
c. salah satu atau para pihak yang akan melakukan perbuatan hukum yang bersangkutan atau salah satu saksi, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, tidak berhak atau tidak memenuhi syarat untuk bertindak demikian; atau
d. salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu surat kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak; atau
e. untuk perbuatan hukum yang akan dilakukan belum diperoleh izin Pejabat atau instansi yang berwenang, apabila izin tersebut diperlukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
f. obyek perbuatan hukum yang bersangkutan sedang dalam sengketa mengenai data fisik dan atau data yuridisnya; atau
g. tidak dipenuhi syarat lain atau dilanggar larangan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
Selanjutnya dalam penjelasan pada Pasal 39 ayat 1 Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, menyebutkan contoh syarat yang dimaksudkan dalam huruf g adalah misalnya larangan yang diadakan oleh Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan Bangunan jo Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1996 tentang perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan Bangunan untuk membuat akta, jika kepadanya tidak diserahkan fotocopy surat setoran pajak penghasilan yang bersangkutan.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam menjalankan tugasnya jabatannya sebagai pembuat akta dibidang pertanahan, PPAT harus memiliki kecermatan dan ketelitian dalam memeriksa kelengkapan berkas-berkas dalam pembuatan akta jual beli. Hal-hal yang harus diperhatikan oleh PPAT yaitu:
1. Identitas dari para pihak. PPAT harus memeriksa kebenaran formil dari identitas para pihak serta dasar hukum tindakan para pihak.
2. Jangka waktu berakhirnya hak atas tanah yang diperjualbelikan (karena jika jangka waktunya berakhir, tanahnya kembali dikuasai oleh negara)
3. Harga jual beli harus sudah dibayar lunas sebelum akta ditandatangani.
4. Tidak terdapat tunggakan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
5. Tanah yang diperjualbelikan harus berada dalam wilayah kerja PPAT yang bersangkutan.