Total Tayangan Halaman

Kamis, 10 Agustus 2023

Subjek Hukum Dalam Perjanjian

Oleh : M. Yusrizal, SH., M.Kn.

Aturan mengenai subyek perjanjian terdapat dalam pasal 1315, 1317, 1318 dan pasal 1340 KUHPdt.
KUHPdt membedakan 3 golongan subyek perjanjian ( pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian ) yaitu :
- para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;
- para ahli waris dan mereka yang mendapat hak dari padanya;
- pihak ketiga.

Pasal 1315 KUHPdt : ”Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.”
Paal 1340 ayat 1 KUHPdt : ”Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Ketentuan-ketentuan di atas dikenal sebagai asas pribadi. Asas ini tidak bersifat mutlak, namun dapat dkecualikan atau bahkan pasal 1318 KUHPdt disebutkan bahwa : ”Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya.”
Jadi menurut penulis lebih tepat digunakan istilah asas pribadi generatif ( karena demi hukum segala hak dan kewajiban seseorang beralih kepada generasi ahli waris/penerima hak darinya ).
Asas pribadi generatif ini dapat disimpangi dengan memberikan manfaat kepada pihak ketiga, menjadikan pihak ketiga terikat dalam suatu perjanjian yang dibuat antara krediur dan debitur, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1317 KUHPdt : ” Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat janji yang seperti itu.”
Ini sering disebut sebagai janji pihak ketiga (beding ten behoeve van derden atau disingkat derden beding).
 Perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu, yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.   Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
      Jika terdapat unsur paksaan, kekhilafan, penipuan, ataupun penyalahgunaan keadaan maka perjanjian dinyatakan tidak berlaku.
2.   Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
      Cakap menurut hukum adalah orang yang sudah dewasa dan sehat pikirannya.
      Menurut Pasal 1330 KUHPerdata, orang yang dinyatakan tidak cakap menurut hukum adalah :
a.   Orang-orang yang belum dewasa.
b.   Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan.
c.   Orang-orang perempuan dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undang-Undang, dan semua orang kepada siapa Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu.
      Namun berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963 menyatakan bahwa perempuan yang bersuami tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap. Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin dari suaminya.
Selain itu, terdapat subjek hukum yang dilarang undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu, diantaranya adalah:
a.   Orang-orang dewasa yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.
b.   Badan hukum yang dinyatakan pailit oleh putusan pengadilan.
c.  seseorang untuk waktu yang pendek maupun untuk waktu yang lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia tidak memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya.

3.   Mengenai suatu hal tertentu.
    Artinya suatu perjanjian harus mempunyai sesuatu yang dijadikan sebagai objek dalam perjanjian tersebut. Objek perjanjian dapat berupa benda ataupun suatu kepentingan yang melekat pada benda. Apa saja yang menjadi objek dari yang diperjanjikan harus disebut secara jelas.
4.   Suatu sebab yang halal.
      Mengenai  suatu  sebab  yang  halal  dalam  Pasal 1320 KUHPerdata bukanlah sebab dalam arti yang menyebabkan/yang mendorong orang untuk membuat perjanjian, melainkan sebab dalam arti isi perjanjian itu sendiri yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai tidak bertentangan dengan Undang-Undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Terhadap dua syarat sahnya perjanjian yang pertama, disebut sebagai syarat subyektif. Sebab mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat yang terakhir, yaitu syarat suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal disebut sebagai syarat obyektif karena mengenai obyek dari perjanjian atau perbuatan hukum yang dilakukan itu. 
Keempat syarat di atas mutlak harus ada atau mutlak harus dipenuhi dalam suatu perjanjian, oleh karenanya tanpa salah satu syarat tersebut perjanjian tidak dapat dilaksanakan. Apabila salah satu dari syarat subyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian dapat dimintakan oleh salah satu pihak untuk dibatalkan. Sedangkan apabila  salah  satu  syarat obyektif tidak terpenuhi, maka suatu perjanjian adalah batal demi hukum, artinya dari semula dianggap tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.

Rabu, 09 Agustus 2023

Tinjauan Mengenai Tugas dan Kewenangan Badan Pertanahan Nasional

Oleh : M. Yusrizal, SH., M.Kn.

1.
Sejarah Badan Pertanahan Nasional
            Badan pertanahan nasional adalah suatu lembaga non departemen ynag dibentuk pada tanggal 19 juli 1998 berdasarkan keputusan presiden Republik Indonesia nomor 26 tahun 1998. Badan ini merupakan peningkatan dari direktorat jenderal agraria departemen. Peningkatan status tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa tanah sudah tidak lagi merupakan masalah agraria yang selama  ini lazimnya di identifikasikan sebagai pertanahan, namun tanah setelah    berkembang menjadi masalah lintas sektoral yang mempunyai dimensi pertahanan dan keamanan.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Tugas  yang demikian luas tersebut terlalu besar untuk ditangani suatu direktorat jenderal pada suatu departemen, oleh karena itu diperlukan suatu badan yang lebih tinggi dibawah presiden agar dapat melaksanakan tugasnya dengan otoritas seimbang.

62
 
Dibentuknya badan pertanahan nasional dengan tugas membatu presiden dalam mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan uupa maupun peraturan perundang-undangan lain yang meliputi peraturan-peraturan penggunaan, pengguasaan, pendaftaran tanah, penggurusan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah, dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah kebijaksanaan yang ditetapkan presiden.

2. Kedudukan Badan Pertanahan Nasional
Untuk menyelenggarakan tugas dan fungsi Badan Pertanahan Nasional di daerah, terakhir dengan Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 2006, dibentuk Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi di daerah Propinsi dan Kantor Pertanahan Kabupaten atau Kota di daerah Kabupaten/Kota. Kantor Pertanahan adalah instansi vertikal Badan Pertanahan Nasional di Kabupaten/ Kota yang berada dibawah dan bertanggung jawab kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional melalui Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Propinsi. Kantor Pertanahan dipimpin oleh seorang kepala yang berstatus sebagai pegawai negeri sipil.

3.  Tugas Badan pertanahan Nasional
Sesuai dengan ketentuan Perturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997,  ditentukan bahwa pendaftaran tanah di Indonesia diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, yaitu lembaga pemerintah non departemen yang bidang tugasnya meliputi bidang pertanahan. Dalam rangka penyelenggaraan pendaftaran tanah yang diselenggarakan oleh Badan Pertanahan Nasional, tugas pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali kegiatan-kegiatan  tertentu yang oleh Peraturan Pemerintah No 24 Tahun 1997 atau Peraturan perundang-undangan yang bersangkutan ditugaskan kepada pejabat lain. Kantor Pertanahan adalah unit kerja Badan Pertanahan Nasional di wilayah Kabupaten atau Kota, yang melakukan pendaftaran hak atas tanah dan pemeliharaan daftar umum pendaftaran tanah.
Untuk melaksanakan ketentuan di atas, maka Kepala Badan Pertanahan berwenang untuk melakukan pendaftaran hak dan menerbitkan surat keputusan pemberian hak atas tanah yang dimohonkan oleh seseorang atau suatu badan. Dalam pelaksanaan tugas sehari-hari sebagian wewenang pemberian hak atas tanah dilimpahkan kepada Kantor Badan Pertanahan Propinsi maupun Kantor Badan Pertanahan Kabupaten atau Kota, hal ini berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1999 tanggal 19  Februari 1999 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Negara yang mulai berlaku sejak tanggal 19 Februari 1999.
Badan Pertanahan Nasional mempunyai tugas pokok melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pertanahan secara nasional, regional dan sektoral. Dalam melaksanakan tugasnya sebagaimana dimaksud, Badan Pertanahan Nasional menyelenggarakan fungsinya sebagai:
1.   perumusan kebijakan nasional di bidang pertanahan;
2.   perumusan kebijakan teknis di bidang pertanahan;
3.   koordinasi kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
4.   pembinaan dan pelayanan administrasi umum di bidang pertanahan;
5. penyelenggaraan dan pelaksanaan survei, pengukuran dan pemetaan di bidang pertanahan;
6.   pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum;
7.   pengaturan dan penetapan hak-hak atas tanah;
8. pelaksanaan penatagunaan tanah, reformasi agraria dan penataan wilayah-wilayah khusus;
9.  penyiapan administrasi atas tanah yang dikuasai dan/atau milik negara/daerah bekerja sama dengan Departemen Keuangan;
10. pengawasan dan pengendalian penguasaan pemilikan tanah;
11. kerja sama dengan lembaga-lembaga lain;
12.penyelenggaraan dan pelaksanaan kebijakan, perencanaan dan program di bidang pertanahan;
13. pemberdayaan masyarakat di bidang pertanahan;
14.pengkajian dan penanganan masalah, sengketa, perkara dan konflik di bidang pertanahan;
15. penelitian dan pengembangan di bidang pertanahan;
16. pendidikan, latihan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pertanahan;
17. pengelolaan data dan informasi di bidang pertanahan;
18. pembinaan fungsional lembaga-lembaga yang berkaitan dengan bidang pertanahan;
19. pembatalan dan penghentian hubungan hukum antara orang, dan/atau badan hukum dengan tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
20. fungsi lain di bidang pertanahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Berdasarkan Peraturan Menteri Negara Agraria Nomor 3 Tahun 1999 tersebut, maka kewenangan pemberian hak atas tanah yang dilakukan secara individual dan secara kolektif, serta pembatalan keputusan pemberian hak atas tanah dilimpahkan sebagian kepada Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi dan Kepala kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Pelimpahan kewenangan pemberian hak atas tanah dalam peraturan ini meliputi pula kewenangan untuk menegaskan bahwa tanah yang akan diberikan dengan sesuatu hak atas tanah     adalah tanah negara.
Selain itu, tugas yang diemban oleh Badan Pertanahan Nasional adalah pembangunan di bidang pertanahan dalam terwujudnya Catur Tertib Pertanahan yang meliputi:
1.   Tertib Hukum Pertanahan
Menurut Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1979 ditegaskan, bahwa yang dimaksud dengan tertib hukum pertanahan adalah:
a.   Semua pihak yang menguasai dan atau menggunakan tanah mempunyai hubungan  hukum  yang  sah  dengan  tanah  yang  bersangkutan  menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b.   Tersedianya perangkat perundang-undangan di bidang pertanahan yang lengkap dan komperhensip sebagai pedoman penyelenggaraan pelayanan pertanahan.
c. Seluruh penyelenggaraan administrasi pertanahan dilaksanakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dewasa ini banyak sekali terjadi penguasaan pemilikan dan penggunaan  tanah oleh orang-orang/badan hukum yang melanggar ketentuan perundangan agraria yang berlaku, karenanya perlu diambil langkah-langkah:
a.   Mengadakan penyuluhan/penerangan kepada masyarakat mengenai tertib hukum pertanahan guna tercapainya kepastian kukum yang meliputi penertiban penguasaan dan pemilikan tanah berdasarkan peraturan perundangan Agraria yang berlaku.
      Dalam pengertian pelaksanaan tertib hukum pertanian sudah tercakup pelaksanaan tertib dokumentasi dan administrasi tanah.
b.   Mengenai sanksi hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang terjadi
c.   Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanian
d.   Meningkatkan pengawasan intern di bidang pelaksanaan tugas keagrariaan.
e.  Mengambil tindakan tegas terhadap oknum yang sengaja melakukan penyelewengan.
f.    Kebersamaan mengadakan interopeksi.
      Adanya usaha-usaha tersebut, maka akan terwujud adanya tertib hukum pertanahan yang menimbulkan kepastian hukum pertanahan dan hak-hak serta penggunaannya, yang kesemuannya itu akan menciptakan suasana ketentraman dalam masyarakat dan pengayoman masyarakat dari tindakan-tindakan semena-mena serta persengketaan-persengketaan, sehingga mendorong gairah kerja.

2.   Tertib Administrasi Pertanahan
      Dewasa ini, masih terasa adanya keluh kesah dari masyarakat, tentang hal berurusan dengan aparat pertanahan, khususnya dalam hal:
a.  Pelayanan urusan yang menyangkut tanah masih berbelit-belit dan biaya relatif mahal.
b. Masih terjadi adanya pungutan-pungutan tambahan.
      Sehingga dengan demikian yang disebut tertib administrasi pertanahan adalah merupakan keadaan dimana :
a.   Untuk setiap bidang telah tersedia mengenai aspek-aspek ukuran fisik, penguasaan penggunaan, jenis hak dan kepastian hukumnya yang dikelola dalam sistem Informasi Pertanahan yang lengkap.
b. Terdapat mekanisme prosedur, tata kerja pelayanan di bidang pertanahan yang sederhana, cepat dan massal tetapi menjamin kepastian hukum yang dilaksanakan secara tertib dan konsisten.
c. Penyimpanan warkah-warkah yang berkaitan dengan pemberian hak dan pemanfaatan tanah dilaksanakan secara tertib, beraturan dan terjamin keamanaannya.

3.   Tertib Penggunaan Tanah
   Sampai sekarang masih banyak tanah-tanah yang belum diusahakan/ dipergunakan sesuai dengan kemampuan dan peruntukkannya, sehingga bertentangan dengan fungsi sosial dari tanah itu sendiri.
    Sehingga dengan demikian yang disebut tertib penggunaan tanah adalah merupakan keadaan dimana:
a.  Tanah telah digunakan secara lestari, serasi dan seimbang. Sesuai dengan potensi guna berbagai kegiatan kehidupan dan pengharapan diperlukan untuk menunjang terwujudnya tujuan nasional
b.  Penggunaan tanah di daerah perkotaan dapat menciptakan suasana aman, tertib, lancar dan sehat.
c.   Tidak terdapat pembentukan kepentingan antara sektor dalam peruntukkan tanah.

4.   Tertib Pemeliharaan Tanah dan Lingkungan Hidup
      Dewasa ini, banyak sekali orang/badan-badan hukum yang mempunyai atau menguasai tanah yang tidak memperhatikan dan melakukan usaha-usaha untuk mencegah kerusakan-kerusakan dan kehilangan kesuburan tanah. Pada lain pihak, kepadatan penduduk yang melampaui batas tampung wilayah, telah mendorong untuk mempergunakan tanah tanpa mengindahkan batas kemampuan keadaan tanah dan faktor lingkungan hidup.
     Unsur-unsur yang berhubungan dengan azas-azas tataguna tanah dan keselamatan hidup sudah benar-benar ditinggalkan guna mengejar kebutuhan hidup yang mendesak dan bersifat sementara.
    Oleh  karena  itu, maka yang disebut tertib pemeliharaan tanah dan lingkungan hidup adalah merupakan keadaan dimana:
a.   Penanganan bidang pertanahan telah dapat menunjang kelestarian hidup.
b. Pemberian hak atas tanah dan pengarahan penggunaan telah dapat menunjang terwujudnya pembangunan yang berkelanjutan dan bernuansa lingkungan.
c. Semua pihak yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah melaksanakan kewajiban sehubungan dengan pemeliharaan tanah  tersebut.
      Catur Tertib Pertanahan ini merupakan kebijakan bidang pertanahan yang dijadikan “landasan”, sekaligus “sasaran” untuk mengadakan penataan kembali penggunaan dan pemilikan tanah serta program-program khusus di bidang agraria untuk usaha meningkatkan kemampuan petani-petani yang tidak bertanah atau mempunyai tanah yang sangat sempit.
          Badan Pertanahan Nasional bertugas untuk mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan yang meliputi Pengaturan Penggunaan, Penguasaan, Pemilikan dan Pengelolaan Tanah (P4T), penguasaan hak-hak atas tanah, pengukuran dan pendaftaran tanah dan lain-lain yang berkaitan dengan masalah pertanahan, sehingga Badan Pertanahan Nasional sangat berperan aktif dalam mewujudkan penggunaan tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan melaksanakan fungsinya di bidang pertanahan sebagai lembaga non Departemen pembantu Presiden.

B. Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah oleh Kantor Pertanahan
Secara umum pendaftaran tanah merupakan kegiatan administrasi yang dilakukan oleh pemilik tanah terhadap hak atas tanahnya, baik dalam pemindahan  hak maupun dalam pemberian dan pengakuan hak baru. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 telah dirumuskan mengenai pengertian  pendaftaran tanah.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 19 UUPA pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Pemerintah, dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 pelaksanaan pendaftaran tanah dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan, kecuali mengenai kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada Pejabat lain. Kegiatan-kegiatan tertentu yang ditugaskan kepada pejabat lain, yaitu kegiatan-kegiatan yang pemanfaatannya bersifat nasional atau melebihi wilayah kerja Kepala Kantor Pertanahan, misalnya pengukuran titik dasar teknik dan pemetaan fotogametri.
Kegiatan pendaftaran tanah telah dilakukan oleh Pemerintah dengan sistem yang sudah melembaga sebagaimana yang dilakukan dalam kegiatan pendaftaran tanah selama ini, mulai dari permohonan seseorang atau badan, kemudian diproses sampai dikeluarkannya bukti haknya (sertipikat) dan pemeliharaan data pendaftarannya dalam buku tanah.
Dalam pelaksanaan tugas tersebut Kepala Kantor Pertanahan dibantu oleh PPAT dan Pejabat lain yang ditugaskan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan tertentu menurut Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 ini dan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Misalnya pembuatan akta PPAT  Sementara, pembuatan akta ikrar wakaf oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf, pembuatan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) oleh notaris, pembuatan Risalah Lelang oleh Pejabat Lelang, dan adjudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik oleh Panitia Ajudikasi.